- Untuk Decky Zulkarnain
Malam baru akan memasuki pukul 20.00 WIB, saya merencanakan akan tidur lebih awal. Tiba-tiba seorang kawan bertanya. "Bang, mau makan apa?"
Dia menawarkan beberapa opsi tapi menganjurkan menu yang paling dekat. Saya hanya mengiyakan, kemudian masuk ke ruang kerja yang berfungsi sebagai kamar tidur di malam hari. Tidak disangka, saya ternyata tertidur barang beberapa saat.Â
"Bang Aji, bang. Belum liat grup (WA)?" Suaranya terburu-buru.Â
"Ada apa?" Tentu saja saya terkejut. Kantuk ini masih tebal rasanya.Â
"Bang Decky sudah gak ada."
"Haaa?"
Saya membuka grup WA dan terdiam. Ucapan belasungkawa bergantian muncul di sana. Innalillahi. Seorang sahabat kini pergi.
Malam itu, saya makan sambil tersedu-sedu. Sebagaimana seseorang dengan kehilangan yang serius.Â
***
Malam dimana saya menghabiskan makanan dengan tersedu-sedu itu terjadi di permulaan tahun 2019. Siang harinya, saya baru saja menyelesaikan satu penerbangan yang sebentar dari Sampit, Kalimantan Tengah.Â
Tanpa berlama-lama di Cengkareng atau Jakarta yang berdesak-desakan itu, saya langsung saja melanjutkan perjalanan ke Bogor. Saya membayangkan hari-hari yang sedikit santai. Termasuk sebuah pagi yang cerah, walau sibuk, dimana saya bisa berjogging mengelilingi kebun raya.
Tapi keadaan tidak selinier bayangan saya. Tiba di kantor yang tenang sekitaran kawasan Danau Toba, Bogor Baru, saya ternyata mesti menerima kabar duka dari Sampit.Â
Kehilangan dan perasaan bersedih itu semakin menggerogoti karena dua hari sebelum kembali ke Bogor, saya masih bersama-sama almarhum. Kami menghabiskan waktu bersama-sama.
Jika biasanya Decky yang mengendarai motor, maka kali ini dia yang membonceng.Â
"Mau makan apa Abah Nadia?" Nadia adalah nama anak tertuanya yang perempuan.Â
"Mi Ayam saja, Ji."Â
Sip, berangkatlah kita dengan motor bebek. Pun di malam hari, kami akan berangkat mencari warung makan bersama-sama. Di dua hari ini, basecamp kami yang terletak di bilangan MT. Haryono memang sedang sepi.
Sudah beberapa bulan terakhir, Decky menunjukan perkembangan kondisi kesehatan yang payah. Ia sempat mengajukan cuti untuk berobat dan berencana berobat ke Banjarmasin. Namun memutuskan kembali bekerja.Â
Saya pernah mengusulkan kepadanya agar mengambil cuti yang panjang, berobat dan memastikan dia benar-benar pulih. Dia menjawab, "Gak enak, Ji. Kita kan baru gabung ke perusahaan, masa sudah minta cuti terus?" Â Â
Sebelumnya Decky bersama-sama bekerja di bawah naungan sebuah yayasan. Yayasan Puter Indonesia, namanya. Karena kontraknya sudah berakhir, bersama beberapa kawan, mereka memutuskan bergabung ke perusahaan yang sebelumnya berkolaborasi dengan yayasan dimana kami bekerja. Perusahaan itu adalah Rimba Makmur Utama yang bergerak di proyek Restorasi Ekosistem.
Saya memilih tetap di yayasan saja. Maksudnya saya lebih memilih rehat sejenak karena sudah bertahun-tahun hidup berpisah dari keluarga. Itulah alasan mengapa saya ditarik kembali ke Bogor.Â
Dari Rekan Kerja Hingga Keluarga di Perantauan.Â
Ada banyak sekali pembelajaran hidup selama di Sampit, dan terutama sekali di Katingan. Dua lokasi ini memberikan banyak sekali kisah. Dan, banyak sekali orang baik yang bersedia menerima saya. Keluarga Decky adalah salah satunya.
Decky bersama istri dan tiga orang anaknya menetap di Tewang Kampung. Sebuah perkampungan pinggiran sungai yang berada di Kecamatan Mendawai. Dari ibukota kecamatan, kita harus menggunakan ces (perahu kecil bermesin) untuk tiba di sini.
Perjumpaan mula-mula dengan Decky adalah rekan kerja dalam proyek pemberdayaan masyarakat. Decky sesungguhnya adalah senior saya, dalam ukuran umur maupun keterlibatan dalam proyek ini.Â
Setidaknya dia telah terlibat dua atau tiga tahun lebih awal. Sebagai warga lokal, yang memiliki pengalaman dalam program-program pendampingan desa, Decky memiliki spesifikasi dalam fasilitasi Pemetaan Partisipatif. Dia memiliki jam terbang yang lumayan.Â
Karena itu, saya banyak bertanya kepadanya. Bukan saja dalam perkara yang merupakan spesifikasinya. Akan tetapi dalam ihwal yang lebih besar, seperti bagaimana asal-usul perkampungan yang berdekatan di dua kecamatan.Â
Atau bagaimana masa lalu mereka di zaman perburuan kayu dan bagaimana hidup di masa sekarang ini. Ada banyak sekali hal yang saya tanyakan. Dengan begitu, saya memiliki sedikit background dari jejak-jejak keresahan warga yang terus menyertai.Â
Sebab itulah, Decky adalah seorang lokal yang berfungsi mula-mula sebagai guru kebudayaan saya dalam mengenali masyarakat sungai di Katingan.Â
Misalnya dalam satu kesempatan, saya dan Decky dimintai pemerintah dua desa bertetangga untuk memfasilitasi penyepakatan batas desa. Penyepakatan batas ini bukanlah bagian dari workplan proyek yang kami kerjakan.Â
Proses penyepakatan batas desa menyaratkan pembacaan koordinat dalam peta dan penandaan titik di lokasi yang disepakati sebagai batas dua desa tersebut secara seksama. Dan, terutama sekali adalah kesepekatan antar pemerintah desa dan tokoh-tokoh masyarakatnya.
Decky banyak memimpin proses fasilitasi ini, saya hanya mendampingi saja.Â
Bersamaan dengan itu, dia menyampaikan analisisnya tentang peta kepentingan dari masing-masing elite desa. Sebab batas desa yang ingin disepakati itu tidak lepas dari intervensi perusahaan sawit yang baru saja membuka konsesinya.
Tentu saja, dalam perjalanan kemudian, ada banyak subyek lokal yang mengajari saya sebagaimana peran Decky. Namun dari dirinya, saya mendapatkan jendela awal bagi penglihatan sosio-kultural saya sebagai outsider.
Waktu berjalan, tantangan berkembang, dan kami makin intens bekerja sebagai sebuah tim.Â
Di masa-masa ini, hubungan emosional dalam tim pelan-pelan membentuk sebuah unit baru keluarga. Kami tak sebatas membereskan pekerjaan bersama. Atau terlibat dalam rapat awal bulan untuk menyusun perencanaan bersama.
Kali ini, dan sangat sering, kami menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak melulu pekerjaan. Terutama bagi saya yang setiap dua bulang sekali baru bisa mengajukan cuti pulang ke rumah.Â
Rumah Decky adalah tempat saya melarikan rasa jenuh--semacam kanopi yang melindungi dari teriknya rutinitas.
Tak jarang, istrinya menyiapkan makanan yang kami santap bersama-sama. Makanan dengan menu sederhana namun terasa begitu nikmat. Dari sajian makanan yang digelar di atas tikar, banyak sekali pertukaran cerita yang menceritakan motivasi dan konflik sehari-hari orang-orang di kampung.Â
Decky sesekali membagikan pergumulannya terhadap tuntutan-tuntutan yang harus dia penuhi dari dua anaknya yang sudah bersekolah. Karena itu, ia memiliki rencana-rencana tambahan untuk memperkuat sumber-sumber pendapatan keluarga.Â
Tidak mudah namun seorang kepala keluarga harus memasang badan untuk masa depan anak-anaknya, tak semata memastikan kebutuhan sehari-hari bisa dilewati dengan baik. Decky adalah contoh ayah yang baik dalam prinsip hidup yang seluhur ini.
Cerita-cerita tentang tuntutan dan kebutuhan hidup mungkin adalah curhat baginya. Namun bagi saya yang lebih muda, ini adalah nasehat seorang kakak. Dalam nasehat-nasehat tersebut, sejatinya, ia sedang membagikan banyak hal yang dapat berfungsi sebagai skenario antisipasi bagi masa depan saya sendiri.
Kedekatan seperti ini--yaitu ketika aspek terdalam dari kehidupan domestik mulai diceritakan-- menandakan kualitas persahabatan yang tengah naik kelas. Di titik inilah, saya merasa Decky adalah keluarga sendiri. Sebagai kakak dan guru sekaligus.Â
Tentulah ada banyak dimensi dari sosok Decky semasa hidupnya.Â
Bagi kawan-kawan yang mengenalinya dengan baik, dalam dirinya hidup selera humor yang tidak mudah ditebak. Seringkali celetukannya yang mendadak ketika kita sedang terlibat dalam obrolan yang ramai memancing tawa yang menyempurnakan suasana hangat.
Celetukannya yang tidak mudah ditebak itu adalah penanda yang terus dikenang oleh kami, sahabat-sahabatnya. Hingga hari ini.
Hal lainnya yang identik dengan dirinya adalah kesetiaannya pada musik tahun 1990-an. Hal ini terlihat ketika kami berada di room karaoke. Khususnya di saat akhir bulan, ketika laporan baru dibereskan dan rekening baru diisi gajian.Â
Di saat beberapa dari kami sibuk menyesuaikan diri dengan lagu-lagu yang lebih aktual, semisal Armada atau Noah, Decky tetap tak tergoyahkan. Ia cenderung konservatif dalam opsi ini.
"Lagu apa Abah Nadia?"
"Voodo. Sampaikan Salam Untuk Dia," ujarnya. Setiap saat seperti ini.Â
***
Di hari-hari terakhirnya, saya baru diberitahu jika sebelum wafat, Decky meminta kepada istrinya agar segera menyusul ke Sampit. Seolah-olah dia tahu bahwa saat hidupnya tak lagi lama.Â
Di masa ini, dia memutuskan menemani saya di basecamp Sampit. Saya yang seorang diri dan tengah bersiap-siap pulang.
Sebagaimana kematian selalu adalah misteri, saya tidak pernah menyadari bahwa hari-hari itu adalah saat-saat dari sebuah episode yang akan tutup buku. Tidakkah di saat-saat itu, dia ingin berpamitan?Â
Dengan meminta saya mengantar dan menemaninya mencari makanan yang dia sukai, itu adalah sejenis cara untuk berterima kasih?
Satu-satunya penyesalan saya adalah tidak berkesempatan mengantarnya ke liang lahat.Â
Selamat jalan, sahabat. Doa-doa kami bersamamu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H