Menikmati Oppenheimer adalah pengalaman yang sepi, kalau bukan nyaris sendiri.Â
Siang kemarin, ketika waktu baru menunjuk pukul 13.00 WITA, saya sudah duduk membisu di deret bangku B nomor 6. Dingin dan lengang. Berbeda dengan seminggu sebelumnya, ketika saya menunggu Mission: Impossible Dead Reckoning Part One.Â
Studio bioskop XXI di Manado Town Square nyaris penuh oleh penonton yang penasaran aksi terbaru Ethan Hunt, dkk. Aksi yang sejatinya kali ini terlalu ketinggalan zaman. Ide cerita menjadikan "Entitas" sebagai obyek pertikaian terbarunya terlihat kuno.Â
Bukan saja bahwa Entitas yang digambarkan sebagai produk kecerdasan artifisial dengan kapasitas meretas dan membelot ketika menginfeksi inangnya. Namun juga karena masih kentalnya atmosfir sisa-sisa perang dingin sebagai lanskap geopolitiknya serta Ethan Hunt yang konsisten bisa berlari kencang tanpa ngos-ngosan.Â
Film berjilid-jilid yang sudah diperankan Tom Cruise sejak tahun 1996 bisa dikatakan culun.Â
Misalnya dengan kita melihat tema yang sejenis di film Fast and Furious. Padahal Mission: Impossible ini sedang menuju 28 tahun kelahirannya, namun, tampaknya ia tidak cukup belajar kepada dunia yang bergerak pesat.
Sementara itu, Oppenheimer yang dibesut salah satu sutradara top, Christhopher Nolan, tidak mengalami sambutan yang sama. Setidaknya di studio 1 bioskop XXI, Mega Mall Manado.Â
Saya nyaris sendirian. Bahkan ketika pemutaran dimulai, hanya ada sekitar 10 tau 11 orang saja. Entahlah, saya tidak menghitung dengan persis.Â
Padahal, film besutan sutradara yang pertamakali membuat film di tahun 1998 ini, meraih rating 8,8/10 di situs Internet Movie Database (IMDb). Oppenheimer yang menjadi film layar lebar ke-12 Nolan sepanjang karirnya sebagai sutradara juga melibatkan nama-nama tenar dengan kualitas akting jempolan.Â
Ada Cillian Murphy, sang Oppenheimer, Matt Damon sebagai Leslie Groves, dan Robert Downey Jr sebagai Lewis Strauss (baca sebagai Straws). Kemudian Emily Blunt sebagai sang istri, Katherine Oppenheimer, dan Florence Pugh sebagai Jean Tatlock, kekasih Oppenheimer yang juga seorang aktivis komunis perempuan.
Termasuk melibatkan Rami Malek (yang pernah sukses besar memerankan Freddie Mercury), Kenneth Branagh (pernah memainkan sosok detektif Hercule Poirot), dan Tom Conti (yang kali ini memerankan sosok Einstein).
Bagaimana dampaknya secara bisnis?
Mengutip situs berita Inilah.com (25/07/23), Â Oppenheimer dilaporkan meraih hasil yang luar biasa. Dengan pendapatan mencapai 80,5 juta dolar AS (sekitar Rp 1,2 triliun) dari 3.610 bioskop di AS dan Kanada. Film ini mencatatkan diri sebagai debut non-Batman terbesar untuk sutradara Nolan dan menjadi salah satu debut terbaik untuk film biografi berperingkat-R.
Mengutip berita Antara, di Inggris dan Irlandia, Oppenheimer berhasil mengumpulkan 10,9 juta pound (sekitar Rp 210,1 miliar) dalam box office akhir pekan di dua negeri tersebut. Keberhasilan ini hanya kalah dari film Berbie yang meraup 18,5 juta pound (Rp 356,6 miliar). Â
Lantas, mengapa saya hanya menjumpai situasi sebaliknya dari hingar bingar di atas ketika menunggu di salah satu bioskop tanah air, bukan perkara yang penting.Â
Adalah jauh lebih baik membicarakan film Oppenheimer sebagaimana judul di atas: Pertikaian Panjang Sains dan Kontrol (Geo)Politik.
"Now I Am Become Death, The Destroyer Of Worlds." - Film Oppenheimer
Catatan untuk Oppenheimer. Â Film yang berdurasi selama tiga jam ini dapat dibagi kedalam dua fase utama.Â
Fase Pertama, ketika Julius Robert Oppenheimer direkrut untuk memimpin proyek pembuatan bom atom di Los Alamos, New Mexico. Proyek yang lebih dikenal dunia dengan Proyek Manhattan.Â
Proyek Manhattan adalah proyek pertama Amerika Serikat dalam pembuatan senjata nuklir. Dan merupakan respons terhadap proyek sejenis milik Jerman yang sudah dimulai empat tahun sebelumnya. Maka, di sekitar tahun 1942/1943, Oppenheimer memimpin sekitar 4000 orang dengan investasi senilai 2 milyar dolar Amerika untuk menyelesaikan ambisi khas Perang Dunia Ke-II tersebut.
Setelah bekerja selama 3 tahun, proyek yang menghimpun fisikawan dan membuat kota baru ini berhasil melakukan ujicoba di bulan Juli, 1945. Bom atom pertama ini disebut Trinity. Sebulan kemudian, persisnya pada tanggal 6 dan 9 Agustus, Hirosima dan Nagasaki di Jepang dihajar dengan bom atom buah proyek ini.Â
Jepang menyerah dan di tanggal 17 Agustus, Indonesia menyatakan kemerdekaan lewat proklamasi sederhana yang dipimpin Soekarno dan Hatta, di Jakarta.Â
Fase kedua dalam film ini adalah masa dimana Oppenheimer menjalani persidangan politik sesudah sukses besar Proyek Manhattan. Masa-masa paska-1945, ketika ia menghadapi serangan politik dan tuduhan sebagai spionase yang bekerja untuk pemerintah Soviet.Â
Sebagai sosok yang disebut "Bapak Bom Atom alias Father of the Atomic Bomb", periode ini adalah konsekuensi dari kegigihannya menentang rencana pengembangan bom hidrogen, isu yang sudah muncul dalam "masa-masa Manhattan".Â
Sikap oposan ini memicu kemarahan beberapa faksi di dalam tubuh militer dan pemerintahan Amerika Serikat. Selain itu, Oppenheimer juga sering melobi pemerintah untuk melakukan kontrol terhadap perlombaan dan penggunaan nuklir.Â
Di masa ini, kedekatannya dengan jaringan aktivis komunis di masa lalu adalah sasaran tembak yang utama. Terlebih, ia pernah memiliki kekasih bernama Jean Tatlock sebelum menikahi Katherine. Dia mesti menghadapi serangan politik yang tidak mudah.
Di masa ini, kita mengetahui jika bahwa politik Amerika Serikat tidak sebatas berambisi mengambilalih kontrol atas dunia sesudah masa-masa imperialisme Barat yang dipimpin oleh Inggris, Spanyol, Portugis, Perancis dan Belanda.Â
Namun juga, di dalam rumah, politik Amerika Serikat sangat agresif terhadap kelompok-kelompok komunis dan mengidap rasisme yang mengerikan. Salah satu tokoh kunci di balik operasi represi dan pemberangusan ini adalah John Edgar Hoover (1895-1972), sang pendiri Federal Bureau of Investigation (FBI).
Dari dua fase besar biografinya, kita mendapati kesimpulan bahwa cerita Oppenheimer adalah pergulatan seorang ilmuwan (fisikawan nuklir, persisnya) di tengah kemunculan tata dunia baru yang menegaskan hegemoni global Amerika Serikat.
Dalam masa ini, kita menyaksikan perselingkuhan antara sains dan (ambisi) kekuasaan yang bekerja menghasilkan perang yang brutal, bahkan mengancam kehidupan di muka bumi.Â
Di balik dinding laboratorium, prosedur, dan formula teoritis yang dirumuskan dengan jenius ketika melahirkan bom atom, ada tangan-tangan kekuasaan yang membiayai dan mengarahkan penggunaannya. Lebih berbahaya lagi, semua ini dibungkus atas nama ancaman terhadap keamanan nasional, demokrasi dan perdamaian dunia.Â
Dalam bahasa yang lain, percampuran antara sains dan gairah-gairah nasionalistik seperti ini mengingatkan pada kritik Julien Benda, dalam buku La Trahison des Clercs (1927). Gairah atau perayaan pada nasionalisme sempit yang memang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan zaman modern.Â
Dan yang lebih mengerikan dari kecenderungan nasionalisme sempit adalah ia mampu mengonsolidasikan kebencian terhadap sesama menjadi sesuatu yang patriotis, seperti kehendak nasional. Ia juga menjadikan umat manusia yang beranekaragam itu kedalam satu blok massa yang homogen, beringas dan berkesinambungan.Â
Ilmuwan selevel Oppenheimer bukannya tidak mengalami "dilema moral" dalam situasi di atas. Preferensi humanistik miliknya sangat bisa jadi dibentuk oleh dialog-dialognya dengan kelompok komunis, tanpa mesti menjadi anggota.Â
Pertentangan batin yang mengungkap ilusi dari kredo "ilmuwan haruslah bebas nilai" juga sudah diingatkan Einsten ketika mereka bertemu di depan sebuah kolam. Namun ia, setidaknya dalam film, dipengaruhi pula oleh kekhawatiran jika tidak mulai, maka Soviet akan terlebih dahulu. Siapa yang bisa mengendalikan Soviet di bawah Stalin?
Ia menyadari jika dirinya tengah melayani rezim perang, tidak semata-mata gairah akan pengetahuan. Di konteks ini, analogi perannya sebagai Promotheus, sosok mitologis yang juga disukai Karl Marx, telah menjadikannya pembebas sekaligus korban.
Kebosanan di Awal. Nolan yang dikenal menganut metode "non-linear narrative structure" membuat penonton Oppenheimer agak kesulitan di awal. Apalagi penonton awam semisal saya yang tidak pernah membaca tuntas buku American Prometheus: The Triumph and Tragedy of J. Robert Oppenheimer (2005) karangan Kai Bird dan Martin J. Sherwin.Â
Kesulitan ini ditambahi pula dengan frekuensi dialog di periode awal yang banyak membicarakan kosakata dalam ilmu fisika.Â
Kesukaan Nolan memainkan perpindahan fragmen adegan dengan skoring musik yang mengingatkan pada film Dunkirk adalah tantangan berikutnya. Dengan caranya, film ini mewajibkan penonton harus lebih kuat memelihara fokus dalam kebosanan.
Saya mesti melawan serangan kantuk ketika melewati periode ini hingga ujicoba Trinity berhasil. Seorang teman yang duluan menyaksikan film ini lebih memilih meninggalkan bioskop sesudah scene ledakan ini selesai, saking membosankannya.Â
Sebagai produk jurusan IPS di SMA Negeri, saya baru bisa lebih nyaman mengikuti Oppenheimer sesudah masa-masa serangan politik.
Nama-nama seperti Truman atau Hoover mengingatkan pada pertikaian geopolitik global, khususnya ketegangan di dalam Global North dan meluas ke pinggiran Global South. Dua nama ini adalah segelintir saja yang menjadikan perang melawan komunisme sebagai bagian dari perluasan dan penegasan kontrol geopolitik Amerika Serikat.
Metode Jakarta: Amerika Serikat, Pembantaian 1965, dan Dunia Global Kita Sekarang, yang ditulis Vincent Bevins  (Marjin Kiri, 2022) adalah salah satu yang banyak bercerita tentang situasi di masa itu. Bagaimana antikomunisme telah menjadi proyek global sekaligus horor yang merampas hidup mereka yang memilih berbeda dari kehendak Paman Sam.Â
Jejak-jejak traumatik korban dan ketidakadilan produk zaman itu bahkan masih berfungsi hingga hari ini.
Riwayat Oppenheimer adalah sedikit saja dari kemunculan ilmuwan yang tidak sepenuhnya bisa mengendalikan perkembangan sains yang ditemukannya. Rezim politik, ambisi perang militer, kontrol geopolitik, gairah nasionalisme yang sempit, dan sejumlah energi para maniak membuatnya berada dalam pertikaian idealisme yang panjang.
Di situlah, saya kira, Nolan berhasil menyajikan Oppenheimer sebagai peringatan dari masa lalu. Tidak benar-benar baru, tapi selalu perlu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H