Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Komplain dan Homo Economicus

26 Juli 2023   08:13 Diperbarui: 26 Juli 2023   11:06 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Mbsap.com

Walaupun kita baru saja melewati tidur yang nyaman, nyenyak, dan hangat bersama keluarga kecil tercinta, apa yang terjadi di keesokan pagi tetaplah misteri. Walau bagi beberapa nasib yang lain, setiap pagi mungkin tidak lebih dari penjumlahan elegi--nyanyian sedih.

Saat sedang bersiap mengantar anak lelaki yang baru saja memasuki kelas satu Madrasah Ibtidaiyah, ibunya bersuara dari kamar. "Ini ada baju yang sobek, padahal mau dipakai kerja."

Waduh. Sebagai pihak yang berfungsi mengantar-jemput cucian ke laundry, komplain di pagi yang bergegas semacam ini bukan saja ungkap dari ketidakpuasan, kalau bukan kejengkelan. 

Karena itu, mesti segera direspon. Sebab jika tidak, yang mula-mula berasal dari emosi ketidakpuasan, lantas bermutasi menjadi kejengkelan, berpotensi berubah arah targetnya.

Seolah-olah baju kerja yang sobek itu adalah kesalahan saya!

"Ya sudah, sebentar dikomplain." Saya kemudian berlalu, waktu sudah mendekat pukul 07.00 WITA. 

Dilema Pelanggan. Sepulang dari sekolah, segera saja baju yang sobek itu difoto. Tentu akan dikirimkan ke akun WhatsApp milik pengelola laundry. Tapi masalahnya tidak selesai di sini. 

Jamaah, saya mendadak kesulitan menuliskan kata-kata yang mewakili sebagai bentuk komplain itu.

Bagaimanakah menyampaikan komplain alias keluhan tersebut? 

Di satu sisi, dalam relasi sebagai pelanggan yang sudah berbulan-bulan mengantarkan cucian ke sini tanpa pernah menyisakan utang, cucian yang sobek adalah bentuk layanan yang buruk. 

Ini memang baru kejadian pertama, namun dalam (ketatnya) persaingan antar jasa laundry, tidakkah hukum sebab nila setitik, rusak sudah susu sebelanga? 

Dalam pasar bebas laundry, satu saja ketidakpuasan bisa merontokan ratusan hari kesunyian kepercayaan, bukan? 

Akan tetapi, di sisi yang sebaliknya, perasaan sebagai pelanggan yang kecewa justru dihadang. 

Laundry yang telah menjadi langganan ini dihidupi oleh usaha rumah tangga dengan para pekerja perempuan yang sederhana. Mereka mungkin hanya punya 4 sampai 5 mesin cuci. Saya pernah melihat langsung ke sana.

Ketika bekerja, mungkin mereka sedang lelah dan teledor. Mungkin mereka sedang dalam masalah yang menjadikan dirinya kekurangan fokus. Mungkin, mungkin...Ada banyak kemungkinan yang tiba-tiba saja menyergap dari dalam hati. 

Bagaimana memaklumi para pekerja perempuan ini sebagai orang-orang biasa yang seperti saya? Yang tiba-tiba saja mengalami sesuatu yang mengakibatkan pekerjaan tidak maksimal? 

Sementara apa yang disebut sebagai pekerjaan itu terikat dalam norma-norma persaingan pasar, sehingga kualitas layanan adalah standar yang memungkinkan usaha ini tetap berjalan. Itu artinya pekerjaan saya juga tetap bisa diandalkan.

Terbitlah pertentangan batin yang menggelisahkan di sini. "Ambivalensi" yang merupakan konsekuensi yang niscaya sesudah saya mencoba mengambil posisi dari arah pekerja, setelah sebelumnya berposisi sebagai pelanggan.

Lantas, bagaimana seharusnya? Tindakan apa yang semestinya ditempuh?

Dalam psikologi pelayanan usaha, ada banyak nasihat yang menganjurkan akan memahami komplain sebagai konsekuensi yang melekat; sebagai dua sisi di satu koin. 

Ini bermakna bahwa komplain adalah tindakan teguran atas produk atau layanan yang tidak memuaskan namun sekaligus bisa menjadi motivasi dan ukuran/standar dalam memperbaiki kualitas produk dan layanan.

Sebagaimana konflik dalam teori sosial, komplain adalah bagian yang niscaya dalam sistem. Termasuk sistem yang bahkan sudah terlanjur dianggap mapan dalam mengelola dan merawat tujuan-tujuan sistem demi keseimbangan sosial (social equilibirum). 

Karena itu, masalahnya adalah bagaimana ia dikelola dan diarahkan untuk mencapai kualitas-kualitas baru bagi tatanan sosial. Terkecuali, kondisi fungsi-fungsi dasarnya tengah berada dalam krisis legitimasi yang serius, maka konflik adalah daya dorong yang potensial membubarkannya sebagai tatanan yang eksis.

Pendek kata, komplain bahkan dalam skala usaha yang paling kecil adalah energi untuk merestorasi Indonesia diri. Dan, saya berharap komplain yang pertama kali dilakukan ini bisa bekerja seperti semangat di atas.

Karena itu, saya mengajukan satu kalimat pendek dengan pembuka di bawah foto barbuk. Selamat Pagi, kemudian disertai, Mohon maaf sebelumnya, kami mau komplain. Bla. bla, bla..Mungkin nanti bisa lebih hati-hati, adalah kalimat penutup. Disertai emotikon dua tangan menyatu di depan dada. 

Apakah saya benar-benar lega dengan mengajukan ini karena merasa kalimat di atas bukanlah semacam serangan sekaligus sebuah kode untuk berpamitan dari hubungan yang tidak bisa lagi dipertahankan?

Tidak juga. Sebab saya tidak benar-benar tahu apa yang akan terjadi sesudah komplain ini menjadi bahan evaluasi di internal, antara pemilik dan pekerja. Apa konsekuensi yang akan diterima para pekerja perempuan itu? Apakah mereka akan baik-baik saja--apakah saya overthinking?

Saya hanya merasa--ya, perasaan inilah sebagai pangkalnya dan ini bukan perkara yang baru--pertimbangan seorang Homo Economicus yang disebut-sebut sebagai jantung dari denyut hidup ekonomi modern kapitalisme dibatalkan dalam momen yang sederhana ini. Sekurang-kurangnya, ia digerayangi sehingga tidak menjadi determinan.

Homo Socius, jelas memiliki dimensi yang beraneka dalam bertindak. Ketika ia memiliki cukup syarat untuk rasional atau sebaliknya, irasional, dimensi tersebut selalu mengikuti. Dimensi tersebut bisa jadi berupa sistem tipifikasi dalam sosiologi Peter Berger atau habitus bagi Pierre Bourdieu.

Karena itu juga, dari sebuah cucian yang kembali dari laundry dalam kondisi sobek, penting untuk menahan protes yang buru-buru. Bukan karena kita ingin terlihat sebagai orang baik, seperti dalam proses berempati terhadap kondisi pekerja perempuan di atas. Sebab orang-orang baik hanyalah mereka yang belum menemukan rasa sakit yang hakiki saja!-Joker

Tapi, mungkin demi menjaga jarak kewarasan dari jebakan hubungan antar pelanggan dan penyedia layanan. Manakala uang dan tuntutan kualitas adalah hukum yang menentukan segala-galanya.

Barangkali dengan begitu, kita tidak turut menambah-nambah elegi bagi nasib yang lain. Cukuplah kepasrahannya terwakili dalam kisah Camelia 2 milik Ebiet G Ade:

Tak perlu kau berlari mengejar mimpi yang tak pasti. Hari ini juga mimpi, maka biarkan ia datang di hatimu. Di hatimu.

Hmm. Selamat Pagi! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun