Sebagaimana konflik dalam teori sosial, komplain adalah bagian yang niscaya dalam sistem. Termasuk sistem yang bahkan sudah terlanjur dianggap mapan dalam mengelola dan merawat tujuan-tujuan sistem demi keseimbangan sosial (social equilibirum).Â
Karena itu, masalahnya adalah bagaimana ia dikelola dan diarahkan untuk mencapai kualitas-kualitas baru bagi tatanan sosial. Terkecuali, kondisi fungsi-fungsi dasarnya tengah berada dalam krisis legitimasi yang serius, maka konflik adalah daya dorong yang potensial membubarkannya sebagai tatanan yang eksis.
Pendek kata, komplain bahkan dalam skala usaha yang paling kecil adalah energi untuk merestorasi Indonesia diri. Dan, saya berharap komplain yang pertama kali dilakukan ini bisa bekerja seperti semangat di atas.
Karena itu, saya mengajukan satu kalimat pendek dengan pembuka di bawah foto barbuk. Selamat Pagi, kemudian disertai, Mohon maaf sebelumnya, kami mau komplain. Bla. bla, bla..Mungkin nanti bisa lebih hati-hati, adalah kalimat penutup. Disertai emotikon dua tangan menyatu di depan dada.Â
Apakah saya benar-benar lega dengan mengajukan ini karena merasa kalimat di atas bukanlah semacam serangan sekaligus sebuah kode untuk berpamitan dari hubungan yang tidak bisa lagi dipertahankan?
Tidak juga. Sebab saya tidak benar-benar tahu apa yang akan terjadi sesudah komplain ini menjadi bahan evaluasi di internal, antara pemilik dan pekerja. Apa konsekuensi yang akan diterima para pekerja perempuan itu? Apakah mereka akan baik-baik saja--apakah saya overthinking?
Saya hanya merasa--ya, perasaan inilah sebagai pangkalnya dan ini bukan perkara yang baru--pertimbangan seorang Homo Economicus yang disebut-sebut sebagai jantung dari denyut hidup ekonomi modern kapitalisme dibatalkan dalam momen yang sederhana ini. Sekurang-kurangnya, ia digerayangi sehingga tidak menjadi determinan.
Homo Socius, jelas memiliki dimensi yang beraneka dalam bertindak. Ketika ia memiliki cukup syarat untuk rasional atau sebaliknya, irasional, dimensi tersebut selalu mengikuti. Dimensi tersebut bisa jadi berupa sistem tipifikasi dalam sosiologi Peter Berger atau habitus bagi Pierre Bourdieu.
Karena itu juga, dari sebuah cucian yang kembali dari laundry dalam kondisi sobek, penting untuk menahan protes yang buru-buru. Bukan karena kita ingin terlihat sebagai orang baik, seperti dalam proses berempati terhadap kondisi pekerja perempuan di atas. Sebab orang-orang baik hanyalah mereka yang belum menemukan rasa sakit yang hakiki saja!-Joker
Tapi, mungkin demi menjaga jarak kewarasan dari jebakan hubungan antar pelanggan dan penyedia layanan. Manakala uang dan tuntutan kualitas adalah hukum yang menentukan segala-galanya.
Barangkali dengan begitu, kita tidak turut menambah-nambah elegi bagi nasib yang lain. Cukuplah kepasrahannya terwakili dalam kisah Camelia 2 milik Ebiet G Ade: