Ini memang baru kejadian pertama, namun dalam (ketatnya) persaingan antar jasa laundry, tidakkah hukum sebab nila setitik, rusak sudah susu sebelanga?Â
Dalam pasar bebas laundry, satu saja ketidakpuasan bisa merontokan ratusan hari kesunyian kepercayaan, bukan?Â
Akan tetapi, di sisi yang sebaliknya, perasaan sebagai pelanggan yang kecewa justru dihadang.Â
Laundry yang telah menjadi langganan ini dihidupi oleh usaha rumah tangga dengan para pekerja perempuan yang sederhana. Mereka mungkin hanya punya 4 sampai 5 mesin cuci. Saya pernah melihat langsung ke sana.
Ketika bekerja, mungkin mereka sedang lelah dan teledor. Mungkin mereka sedang dalam masalah yang menjadikan dirinya kekurangan fokus. Mungkin, mungkin...Ada banyak kemungkinan yang tiba-tiba saja menyergap dari dalam hati.Â
Bagaimana memaklumi para pekerja perempuan ini sebagai orang-orang biasa yang seperti saya? Yang tiba-tiba saja mengalami sesuatu yang mengakibatkan pekerjaan tidak maksimal?Â
Sementara apa yang disebut sebagai pekerjaan itu terikat dalam norma-norma persaingan pasar, sehingga kualitas layanan adalah standar yang memungkinkan usaha ini tetap berjalan. Itu artinya pekerjaan saya juga tetap bisa diandalkan.
Terbitlah pertentangan batin yang menggelisahkan di sini. "Ambivalensi" yang merupakan konsekuensi yang niscaya sesudah saya mencoba mengambil posisi dari arah pekerja, setelah sebelumnya berposisi sebagai pelanggan.
Lantas, bagaimana seharusnya? Tindakan apa yang semestinya ditempuh?
Dalam psikologi pelayanan usaha, ada banyak nasihat yang menganjurkan akan memahami komplain sebagai konsekuensi yang melekat; sebagai dua sisi di satu koin.Â
Ini bermakna bahwa komplain adalah tindakan teguran atas produk atau layanan yang tidak memuaskan namun sekaligus bisa menjadi motivasi dan ukuran/standar dalam memperbaiki kualitas produk dan layanan.