Sesudah ini, tak ada lagi kisah wakil Serie A di kasta tertinggi Eropa hingga subuh barusan. Di sepanjang musim tanpa wakil ini, mereka terbenam dalam persaingan domestik dengan Juventus sebagai dominatornya.
Lantas, apa yang bisa dibicarakan dari sejarah wakil Italia yang semacam itu?
Tentu saja kita mesti melihat setiap musim persaingan dengan kekhususannya sendiri-sendiri. Karena itu, untuk membicarakan ini, kita mungkin bisa berangkat dari pencapaian terdekat yang dilakukan klub Italia sebelum final subuh tadi.Â
Pencapaian yang dimaksud adalah yang dilakukan Juventus.Â
Ketika dikalahkan dua kali di final oleh dua wakil Spanyol, Juventus bersama Allegri adalah penguasa nyaris tanpa tanding di Serie A. Mister Allegri menjadikan Buffon, dkk saat itu tetap stabil dan kompetitif paska-Conte. Tetapi di final, mereka dibikin remuk dengan skor yang telak.Â
Berbeda dengan cerita Barcelona, yang juga mencapai dua kali final di musim 2008/2009 dan 2010/2011 sebagaimana Juventus.Â
Di dua kesempatan tersebut, Barcelona berhasil mengalahkan musuh yang sama, Man United. Barcelona tengah menapaki puncak dunia bersama Pep Guardiola dan Man United masih dibesut Sir Alex Ferguson.Â
Seluruh penjuru dunia tahu jika saat itu sepak bola Barcelona adalah atraksi menyerang yang menghibur. Sedangkan gaya Sir Alex Ferguson terlihat seperti sepak bola yang ketinggalan zaman.
Dan, ketika Barcelona dan Juventus bertemu di final pada 2014/2015, mereka diasuh Luis Enrique dengan tridente paling maut di muka bumi: Messi, Neymar, Suarez. Sedang Juventus masih memainkan Buffon, ada Pirlo sebagai pengatur permainan beserta Pogba yang sedang bersinar.Â
Ditambah duet Tevez dan Morata yang mekar di level domestik. Celakanya, komposisi semacam ini terlalu sederhana untuk dilibas Barcelona.
Jadi, apa yang bisa dikatakan dari kegagalan Inter Milan yang baru bisa memutus kutukan gagal masuk final sesudah 7 musim berjalan?