Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Sepak Bola "Serie A" Tak Buruk, Hanya Belum Layak?

11 Juni 2023   11:46 Diperbarui: 11 Juni 2023   19:40 1134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gelandang Manchester City Rodri (tengah) merayakan gol pada final Liga Champions antara Inter Milan dan Manchester City. (AFP/FRANCK FIFE via Kompas.com)

Final Liga Champions. 

Di Ataturk Olympic Stadium, Istanbul, Inter Milan sejatinya tidak bermain buruk. 

Jika ukurannya adalah jumlah gol yang diciptakan City, maka cara bermain 3-5-2 yang ditampilkan Brozovic, dkk sudah tepat. Mereka tahu bagaimana mengelola antar lini dalam determinasi dan organisasi yang rapat. Tak sebatas ini, sesudah gol Rodri di menit ke-68, Inter Milan lebih banyak mengambil kendali penyerangan.

City dipaksa tidak banyak berkembang. Haaland yang beringas tidak terlihat sepanjang pertandingan. De Bruyne yang jenius dengan asis-asisnya pun tak tampak. Tak ada lagi "keberuntungan Gundongan" yang membantu The Citizens di final Piala FA. Juga sepinya manuver meliuk-liuk Bernardo Silva dan Jack Grealish di dua flank.

Ringkas cerita, Inter Milan berhasil meredam agresivitas dan dominasi yang identik dengan taktik Pep Guardiola. Keberhasilan yang gagal ditemukan oleh Don Ancelotti bersama Real Madrid. 

Dengan sukses yang seperti ini, wajar saja jika Simeone Inzaghi mengatakan, "Kami bermain melawan Manchester City dengan kekuatan kami dan melakukannya dengan sangat, sangat baik."

Sebaliknya, pujian juga datang dari Pep Guardiola yang akhirnya berhasil dengan treble winner musim ini. "Selamat untuk Inter, tim yang luar biasa." 

Bagi pelatih berkebangsaan Spanyol dan pernah bermain di Serie A bersama Brescia ini, Inter bermain yang seperti yang diharapkannya. 

Inter memiliki Onana, kiper yang dapat membaca dengan sempurna ke mana semua orang harus mengoper. Juga dengan pemain tengah seperti Calhanoglu dan Barella, serta para striker yang menahan dan menggerakkan bola. 

"Ini sangat, sangat sulit. Akan sedikit lebih mudah tanpa kiper ini, tetapi mereka masih sangat tangguh. Inter juga kuat secara fisik," terangnya lagi.

Final Liga Eropa. 

Di ajang kasta dua Eropa ini, Italia meloloskan dua tim yang di level domestik sedang terseok-seok. Juventus dan AS Roma. Namun Sevilla masihlah terlalu kuat, seolah-olah kuasa yang tak tersentuh.

Pada partai pamuncak yang digelar di Puskas Arena, AS Roma lebih dulu mencuri gol lewat Dybala di menit ke-35. Namun sepak bola dengan dosis bertahan (Roma hanya memiliki penguasaan bola sekitar 30%), Sevilla membuat tim ini tidak lebih baik dari cara bermain Juventus yang disingkirkannya di semifinal.

Satu-satunya yang membuat mereka sedikit lebih baik dari taktik Allegri adalah Dybala, dkk berhasil memaksakan adu penalti sebagai penentu sang juara. Terlepas dari kepemimpinan wasit Anthony Taylor yang membuat Mourinho mencak-mencak, Roma belum layak secara mental. 

Final Liga Konferensi. 

Di liga untuk kasta paling bawah Eropa ini, pertunjukan sepak bola yang sengit terjadi. Fiorentina yang selalu saja kesulitan keluar dari zona mid-table team berhadapan dengan West Ham yang senasib sepenanggungan. Dalam batas tertentu, kedua tim ini adalah riwayat yang bertahan agar tidak terlempar ke zona degradasi. 

Di Eden Arena, Praha, kedua tim bermain dengan energi yang meluap-luap. Ini satu-satunya kesempatan meraih gelar Eropa, mengingat posisi di klasemen yang masih saja semenjana. Fiorentina sesungguhnya sangat dominan.

Situs footystats.org merangkum data jika tim berjuluk "La Viola" ini memiliki penguasaan bola hampir 70%. Mereka juga melakukan 13 tembakan, sedang West Ham hanya 7 kali tembakan. Namun anak asuh pewaris Sir Alex Ferguson yang gagal total di Manchester United, David Moyes, bermain solid dan efektif. 

West Ham berhasil mengakhiri permainan dan mengunci gelar dengan gol di menit 89. Fiorentina kembali ke Italia dengan tangan hampa. Hasil ini menyempurnakan kegagalan meraih trofi setelah sebelumnya dikalahkan Inter Milan dengan skor yang sama 1:2. 

Dari tiga level kompetisi yang mempertemukan klub-klub Eropa ini, Serie A berhasil menempatkan tiga wakilnya di partai pamungkas. Ketiganya memang gagal meraih gelar. Lantas dengan pencapaian ini, refleksi apa yang bisa dipertimbangkan?

Sesudah menang melawan Inter Milan, Pep Guardiola berujar jika keberhasilan Serie A mengirimkan tiga wakilnya bukanlah kebetulan. 

Tapi, tidak terlalu jelas apakah yang dimaksudkan bahwa keberhasilan tiga wakil di tiga final adalah pertanda dari kebangkitan tim-tim Serie A. Terutama dalam skenario merusak dominasi Spanyol, Jerman, dan Inggris di Liga Champions. 

Dari yang bisa diperhatikan dalam beberapa tahun terakhir, isyarat kebangkitan itu rasa-rasanya masih jauh. Dan sepertinya kita perlu sejenak menengok ke masa lalu. Ke sedikit saja sejarah persaingan Liga Champions.

Wakil Italia dalam Sejarah Perebutan Juara Champions Eropa. 

Dalam sejarah perhelatan Liga Champions yang dimulai sejak tahun 1955, Fiorentina adalah wakil Italia yang berhasil mencapai puncak di tahun kedua. Kala itu, mereka dikalahkan Real Madrid dengan skor 0-2 di Santiago Bernabeu. Setahun kemudian, gantian AC Milan yang mencapai puncak namun lagi-lagi kalah oleh Real Madrid.

Wakil Italia baru berhasil menjadi juara di musim 1962/1963. AC Milan adalah sang protagonisnya. Dengan mengalahkan Benfica di Wembley, dengan skor tipis 2:1. Lantas disusul Inter Milan di dua musim berikutnya sebagai campione.

Juventus yang dominan di sejarah domestik baru bisa juara dua dekade kemudian. Tepatnya di tahun 1984, di Heysel dengan skor tipis 1:0. Sebelumnya tim asal Turin ini pernah mencapai final pertamanya di musim 1972/73, namun kalah oleh wakil Belanda, Ajax.

Dari daftar finalis liga Champions sepanjang sejarah tersebut, di tahun 1976 hingga 1981, klub-klub Inggris bergantian menjadi juaranya. Tercatat Liverpool berhasil menjadi juara sebanyak 3 kali, disusul Nottingham Forest sebanyak 2 kali dan Aston Villa sebanyak 1 kali.

Di tahun 2005 hingga 2008, wakil-wakil Inggris kembali hadir di final. Arsenal, Liverpool, Chelsea dan Man United. Namun hanya Man United yang juara sesudah mengalahkan sesama Inggris, Chelsea lewat adu penalti. 

Di musim 2009/2010. tim Italia kembali juara. Saat itu Inter Milan yang dilatih Jose Mourinho dan berhasil menciptakan treble winner. Para penghuni skuad juara seperti Diego Milito, Esteban Cambiaso, hingga Materazzi tadi malam turut hadir di tribun. 

Sesudah keberhasilan ini, tim Italia terakhir yang berhasil mencapai dua final adalah Juventus dengan mazhab Allegri. 

Di kesempatan pertama, 2014/2015, Juventus disikat Barcelona dengan skor 3:1. Kemudian, di musim 2016/17, dihajar Real Madrid dengan skor telak 4:1 dimana Ronaldo membuat gol dari tendangan salto. 

Sesudah ini, tak ada lagi kisah wakil Serie A di kasta tertinggi Eropa hingga subuh barusan. Di sepanjang musim tanpa wakil ini, mereka terbenam dalam persaingan domestik dengan Juventus sebagai dominatornya.

Lantas, apa yang bisa dibicarakan dari sejarah wakil Italia yang semacam itu?

Tentu saja kita mesti melihat setiap musim persaingan dengan kekhususannya sendiri-sendiri. Karena itu, untuk membicarakan ini, kita mungkin bisa berangkat dari pencapaian terdekat yang dilakukan klub Italia sebelum final subuh tadi. 

Pencapaian yang dimaksud adalah yang dilakukan Juventus. 

Ketika dikalahkan dua kali di final oleh dua wakil Spanyol, Juventus bersama Allegri adalah penguasa nyaris tanpa tanding di Serie A. Mister Allegri menjadikan Buffon, dkk saat itu tetap stabil dan kompetitif paska-Conte. Tetapi di final, mereka dibikin remuk dengan skor yang telak. 

Berbeda dengan cerita Barcelona, yang juga mencapai dua kali final di musim 2008/2009 dan 2010/2011 sebagaimana Juventus. 

Di dua kesempatan tersebut, Barcelona berhasil mengalahkan musuh yang sama, Man United. Barcelona tengah menapaki puncak dunia bersama Pep Guardiola dan Man United masih dibesut Sir Alex Ferguson. 

Seluruh penjuru dunia tahu jika saat itu sepak bola Barcelona adalah atraksi menyerang yang menghibur. Sedangkan gaya Sir Alex Ferguson terlihat seperti sepak bola yang ketinggalan zaman.

Dan, ketika Barcelona dan Juventus bertemu di final pada 2014/2015, mereka diasuh Luis Enrique dengan tridente paling maut di muka bumi: Messi, Neymar, Suarez. Sedang Juventus masih memainkan Buffon, ada Pirlo sebagai pengatur permainan beserta Pogba yang sedang bersinar. 

Ditambah duet Tevez dan Morata yang mekar di level domestik. Celakanya, komposisi semacam ini terlalu sederhana untuk dilibas Barcelona.

Jadi, apa yang bisa dikatakan dari kegagalan Inter Milan yang baru bisa memutus kutukan gagal masuk final sesudah 7 musim berjalan?

Bagi saya, partai final mestinya mempertemukan Napoli dengan Manchester City. Bukan karena merekalah sang juara Serie A, tapi karena keberhasilan memainkan sepak bola menyerang yang menghibur ala Spaletti berhasil membuat Liverpool terlihat semenjana. 

Akan tetapi, karena disingkirkan Inter Milan, maka itu berarti sepak bola ala Napoli belum memiliki kualitas yang cukup untuk melaju hingga ke puncak. Termasuk AC Milan yang disingkirkan Brozovic, dkk di semifinal. 

Dari persaingan ketiganya, yang juga mengisi posisi "the big four" di klasemen musim ini, terlihat bahwa bersamaan dengan merusaknya dominasi Juventus, situasi kompetitif yang semestinya kembali ke jantung Italia mulai bersemi. 

Kondisi ini mengingatkan pada sengitnya sepak bola mereka di tahun 1990-an, bahkan disebut-sebut sebagai "kiblat dunia". 

Padahal di sepanjang 1990-an, dua klub yang berhasil juara Champions hanyalah AC Milan (2 kali) dan Juventus (1 kali). Milan dilatih oleh dua nama tenar, Arrigo Sacchi kemudian Fabio Capello sedangkan Juventus oleh sosok yang tak tergantikan, Marcello Lippi.

Karena itu, kegagalan yang terjadi pada Inter Milan di musim ini, memang bukan sesuatu yang spesial. Dalam sejarahnya yang sudah mencapai 68 tahun perhelatan, wakil-wakil Italia bukanlah sang juara utama di kasta pertama Eropa.

Serie A jelas membutuhkan pembaharuan. Dan kita bergembira karena di era ini, sepak bola menyerang kembali menjadi kontestan utama di Italia. Boleh dikata Napoli, Lazio, dan Inter Milan adalah contoh dari pergeseran ke arah sana. 

Sedangkan di level timnas, Roberto Mancini telah menemukan formula serupa yang berhasil membawa Italia sebagai kampiun Eropa. Walau secara ironis, harus tumbang di kualifikasi Piala Dunia. 

Jadi, semoga Serie A tetap kompetitif, Juventus memecat Allegri, dan membuat wakil-wakil Italia kembali pantas bersaing di Eropa. 

***

Sumber yang dipakai dalam artikel ini: Football Italia, Who Scored, Wikipedia, dan Bola.net 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun