- Action, Jump, Hospital-
"Ride On" adalah film terbaru aktor kawakan Jackie Chan. Berdurasi sekitar 126 menit dan mulai dirilis sejak 7 April di China. Selain sedang tayang di bioskop tanah air, sinopsisnya juga sudah banyak ditulis oleh media-media daring tanah air. Di laman situs Internet Movie Database (IMDb), Ride On meraih rating 7,3/10.Â
Naskah film ini ditulis dan disutradarai oleh Larry Yang, seorang sutradara muda yang disebut sebagai perwakilan generasi baru dari "bi-cultural talent in Chinese Film".Â
Mengutip The Hollywood Reporter, filmnya yang berjudul "Mountain Cry" (2015) yang menjadi penutup pada perhelatan Busan Film Festival ke-20 dipuji oleh sutradara Lee Yong-kwan sebagai karya yang memiliki potensi menjanjikan untuk menciptakan tren baru dalam industri film global.
Latar belakang Larry Yang memberikan pesan bahwa karya sinematik yang satu ini memiliki jaminan mutu dalam cerita, tidak semata bergantung pada keaktoran serba bisa Jackie Chan yang sudah bermain di sekitar 150 film sepanjang kariernya. Karena itu, mari kita telusuri empat aspek dramatik dalam film yang didistribusikan oleh Shanghai Pictures ini.Â
Pertama, film ini adalah cerita dari haru biru hidup seorang stunt-performer; pemeran pengganti yang hidup seorang diri di masa tuanya. Lao Luo, namanya, Ia mewakili angkatan lama pemeran pengganti yang belum mengenal teknologi seperti Computer-Generated Imagery (CGI).Â
CGI, seperti yang dikatakan di Josephine Binus, yang bukan saja merupakan pencitraan 3D digital yang dapat memberikan efek lebih nyata pada sebuah adegan film. Namun juga, teknologi ini mudah dikontrol dan mampu menghasilkan konten tanpa menggunakan aktor, seperti film Fast & Furious 7.
Lao Luo adalah pemeran pengganti yang terbiasa memerankan adegan-adegan berbahaya secara langsung. Pasang surut aksi-aksinya dalam menantang bahaya membuatnya memiliki filosofi seorang stuntman yang keras.Â
Pendek kata, sosoknya mewakili idealisme masa lalu yang kini mulai tersingkir oleh kemajuan teknologi dan industri film. Sebab itu, Ride On adalah narasi romantika yang sedih.Â
Kedua, kesedihan seorang Lao Luo yang hidup seorang diri di rumah panggung yang lebih menggambarkan bengkel kerja ditemani oleh seekor kuda yang diberi nama Red Hare. Kuda ini dipeliharanya sejak bayi, ketika terlahir dengan kaki yang cacat. Lao Luo mengasuh, melatihnya, dan menjadikannya selayaknya seorang anak.Â
Red Hare lantas tumbuh menjadi kuda yang pintar, tingkah lakunya mirip manusia. Bersama Red Hare, Lao Luo memburu nafkah sehari-hari. Ia masih harus melunasi hutang sesudah perusahaan filmnya bangkrut dan dirinya mengalami cedera panjang dalam produksi sebuah film.Â
Di "Ride On", kisah persahabatan Lao Luo dan Red Hare adalah drama makhluk fana yang berhasil disajikan dengan baik. Ada banyak komedi dan keharuan yang terbangun rapi di antara keduanya. Kita boleh katakan jika kesan yang paling kuat dari persahabatan ini adalah Red Hare dan Lao Luo merupakan contoh dari hidup yang saling menopang, tidak boleh dipisahkan.
Ketiga, drama lainya dalam hidup Lao Luo yang tengah menuju sepuh itu adalah kegagalannya sebagai seorang suami.Â
Ia pernah menikah dan memiliki seorang anak perempuan bernama Xiao Bao (Liu Haocun). Sikapnya yang keras dan cenderung perfeksionis dalam berkarya (sebagai stunt performer) adalah salah satu pemicu perceraiannya. Ibunya wafat sehingga Xiao Bao yang sejatinya lembut hati tumbuh dengan kemarahan terhadap figur seorang ayah, menyempurnakan kekosongannya.
Xiao Bao harus kembali kedalam hidup semenjana ayahnya karena Red Hare terancam disita karena persoalan hukum. Xiao Bao yang sedang dalam masa studi akhir memiliki pacar seorang pengacara muda.Â
Pertemuan kembali sang anak perempuan dan ayahnya yang terkesan lebih memilih industri film ketimbang keluarganya adalah rekonsiliasi yang seharusnya susah-susah mudah.Â
Namun, demi menuruti pesan mendiang ibunya-berikan ayahmu kesempatan- si anak tetap memelihara pikiran positif bahwa ayahnya yang keras hati itu bisa berubah. Sedangkan sang ayah, yang diam-diam menyimpan banyak arsip video dari pertemuan mereka yang gagal, ternyata hidup dalam penyesalan yang panjang.Â
Singkat kata, drama rekonsiliasi anak perempuan dan ayahnya berlangsung tanpa banyak kerumitan, beberapa bagian bahkan tampak klise. Walau begitu, tetap saja membuat penonton mesti terdiam dalam atmosfir keharuan, bukan cuma saya.
Satu adegan yang cukup menyedot kebisuan dan memaksa mata mendadak sembab adalah pada saat Xiao Bao berlinang airmata di depan potongan film-film lama ayahnya di samping kandang Red Hare.Â
Potongan adegan tersebut menampilkan aksi-aksi ayahnya ketika memerankan adegan-adegan berbahaya tanpa pemain pengganti (dokumentasi ini adalah fim-film Jackie Chan semasa muda). Lantas Lao Luo datang, berdiri disampingnya, dan menangis tersedu tanpa banyak berkata-kata.
Xiao Bao baru melihat sekeras apa ayahnya berjuang dalam industri film. Segala macam risiko yang ditempuh tidak cukup disangkakan sebagai konsekeunsi dari orang upahan. Akan tetapi, menjadi aktor adalah menjalani seni peran yang total. Sikap ini yang terkikis dari banyak orang ketika teknologi merekayasa aksi nyata.
Keempat, usaha kembali ke industri seorang stuntman kawakan juga tersaji di Ride On. Bersama Red Hare dan Xiao Bao, Lao Luo merintis jalan kembali. Ia mengambil peran dengan aksi-aksi yang masih segarang dulu, bedanya kali ini dengan Red Hare sebagai salah satu aktornya. Beberapa konflik terjadi antara dirinya dan Xiao Bao, terutama karena sikap kerasnya dalam memaksakan kemampuan Red Hare.Â
Di bagian menuju penghujung, drama paling terenyuh yang disajikan adalah ketika Red Hare harus diserahkan kepada pemenang lelang. Status kepemilikannya memang digugat karena sengketa hukum pemilik lama yang memberikan Red Hare kepada Lao Luo. Red Hare melarikan diri dari pemilik barunya dan menyusul romboban Lao Luo yang kembali ke rumah.Â
Drama itu terjadi di sebuah tanah lapang yang becek. Red Hare yang menyusul beberapa kali harus terjatuh di sini. Tapi Lao Luo malah mengusirnya, menyuruhnya kembali ke pemilik baru, dan mengatakan jika Red Hare sudah tidak diinginkan. Red Hare hanya bisa terdiam, seperti tak menyangka.Â
Sedang Lao Luo melahirkan lara hatinya dengan menangis tersedu-sedu di dalam mobil yang melaju pulang. Adegan ini adalah puncak dari drama persahabatan manusia dan kuda yang sama-sama berjuang hidup sebagai pemeran pengganti.
Di penutup cerita, keduanya kembali bersatu. Lao Luo tak lagi bersikap keras dengan memaksa Red Hare memberikan segalanya dalam sebuah adegan film dimana mereka berperan sebagai pengganti.
Semua akhirnya berbahagia. Lao Luo dan Xiao Bao akhirnya menemuka titik komprominya, yang mengembalikan keutuhan mereka sebagai ayah dan anak.Â
***
Ride On didedikasikan bagi para pemeran pengganti yang seringkali nama mereka tidak pernah disebut-sebut dari sebuah film yang sukses.Â
Para pemeran pengganti dan kru film adalah tulang belakang yang jarang mendapat porsi cerita dalam kisah-kisah sukses. Sayang, narasi dari jatuh bangun seorang stuntman yang hidupnya bergerak di antara "action, jump and hospital" tidak cukup terlihat.
Walau begitu, dari empat aspek dramatik di atas, dilengkapi beberapa adegan komedikal dalam pertarungan sebagaimana ciri yang khas dari film-film Jackie Chan, menjadikan Ride On cukup baik bergerak di antara lelucon dan keharuan.Â
Emosi penonton dibawa dalam dua poros yang seketika bertukar dengan mulus, seolah-olah hidup itu sendiri: senin tertawa, rabu bersedih. Dengan maksud lain, selalu saja ada pasang surut namun yang lebih penting dari itu, sebagai keluarga, bagaimana dihadapi bersama-sama.
Sebagai yang menikmati film-film Jackie Chan, terutama yang bergenre aksi-komedi yang diperankan tanpa menggunakan pengganti, Ride On memang bukan sebuah proyek biopik.Â
Ride On, bagi saya, adalah film Jackie Chan yang rasa-rasanya paling menyedot emosi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H