Kalau kita memeriksa status trending topic Twitter beberapa saat lalu, maka HIPMI masuk dalam 4 besar. Ketika saya menuliskan ini, HIPMI sudah dicuit sekitar 8.600-an kali.
Perkaranya adalah peristiwa baku hantam. Tidak terlalu penting baku hantam karena apa. Yang jelas baku hantam yang ironis.Â
Beberapa video berseliweran, memperlihatkan suasana baku hantam dari bapak-bapak muda dengan batik berwarna oranye kekuningan.Â
Sebatas yang bisa dilihat dari video pendek tersebut, mereka adalah bapak-bapak muda dengan potongan yang rapi, rambut kelimis, juga lingkar perut yang membuncit mantap.
Saya, dengan perjalanan nasib yang berseberangan dengan profil pengusaha muda, membayangkan diri ada di forum yang chaos itu. Di forum politik selevel Musyawarah Nasional (Munas) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) XVII yang diselenggarakan di Kota Solo.Â
Bukan sembarang Munas, gengs. Ini Munas dihadiri para petinggi politik. Dibuka langsung oleh Presiden, yang dulunya juga seorang pengusaha, bukan tentara, bukan keturunan pendiri bangsa.Â
Bagaimana kekacauan seperti itu kita maklumi? Bagaimana bisa terjadi di forum yang isinya kumpulan pengusaha? Â
Tentulah keterkejutan pertama adalah karena kekacauan sedemikian bukan disebabkan kinerja payah panitia pelaksana. Ini bukan forum kelas mahasiswa yang acapkali membawa proposal kemana-mana dan bergantung donasi seniornya. Karena itu pesertanya menjadi rawan tak terurus dan menderita kekurangan pangan.Â
Ini bukan kegiatan pertemuan mahasiswa yang sering meminjam fasilitas pemerintah atau milik yayasan. Pesertanya tidak mungkin tidak kebagian kamar, tidak mungkin ada romli alias rombongan liar yang terseok-seok.
Anda bisa jadi GOLONGAN TERDIDIK, tapi KELAPARAN dan NASIB TAK TERURUS masihlah SUMBER AMUK paling rapuh hingga hari ini.Â
Kedua, bayangkanlah bapak-bapak muda pengusaha itu, yang rata-rata berumur empat puluhan. Mereka rapi, kelimis dan pasti menebar aroma berupa-rupa parfum.Â
Kemudian beberapa di antara mereka memutuskan baku hantam tangan kosong. Setidaknya, baku hantam itu memiliki cara yang lebih sportif, tidak menyasar sembarang korban.Â
Tak ada kursi terbang, tak ada pejabat tinggi yang diungsikan. Tak ada bau menyengat, tak ada topik pilihan kompasiana.Â
Maksudnya adalah kekacauan seperti ini adalah kekacauan yang harum dan penuh kerapian.Â
Kekacauan khas kelas menengah yang pecah di sesama mereka. Di beberapa kasus--serupa penutupan Mcdonald di Sarinah, Jakarta--kelas menengah memang suka bikin hal-hal yang absurd, sih.
Ternyata kerapian dan keharuman memang tidak bisa menyamarkan kebengisan, seperti apapun kekuasaan berusaha memanipulasinya, hmmm.
Ketiga, kumpulan para pengusaha muda yang rapi, kelimis dan harum itu baru saja menerima wejangan-wejangan penuh optimisme. Wejangan yang menitipkan kepada mereka masa depan bangsa yang besar ini. Di hadapan krisis sisa-sisa pandemi Covid-19 dan Perang Rusia Vs. Ukraina masih membuat muram ekonomi dunia.Â
Sebagaimana dikatakan Ganjar Prawono, Gubernur Jawa Tengah, seperti yang dirilis Kompas.com:
"Bareng dengan pemerintah membuat pelatihan-pelatihan, membangun jejaring-jejaring, memberikan akses-akses sehingga banyak nanti pengusaha-pengusaha muda yang muncul. Kita butuh banyak sekali pengusaha muda di Indonesia."
Kita terus curiga bahwa (sangat sering) kalimat-kalimat petinggi yang penuh optimisme itu tidak nyambung dengan situasi (politik) di internal organisasinya.Â
Memang tidak ada keharusannya juga para petinggi itu memahami kerumitan di organisasi pemuda karena seringkali merekalah penyebab kerumitannya, terlebih menjelang pemilu, hihihi.Â
Tidakkah kita seringkali tertipu dengan bungkus luar dari kerumitan internal yang, ya, rumit itulah. Â
Yang sulit dimungkiri, apapun judul penyebabnya, baik forum politik bapak-bapak muda pengusaha  dengan mahasiswa sama-sama menyediakan baku hantam adalah opsi yang possible.
Keempat, jangan lupakan dalil yang bilang begini. Berorganisasi adalah produk peradaban modern dimana manusia tidak perlu lagi mencapai tujuan dengan cara-cara pengrusakan dan pemusnahan.Â
Berorganisasi membuat setiap orang (semestinya) memiliki kesempatan yang sama, bukan cuma tujuan yang sejajar.Â
Pendek kata, berorganisasi, apalagi isinya pengusaha yang mewakili makhluk rasional-dingin-terukur-disiplin, manusia menjadi lebih beradab, tidak memilih cara-cara fisik dalam menyelesaikan perselisihan. Tapi...
Baku hantam dalam konteks di atas seolah-olah insting yang tidak lenyap di balik pesatnya perkembangan organisasi dan teori-teori yang membicarakannya.Â
Baku hantam lebih tampak sebagai latency--karena itu statusnya melampaui opsi--yang menyelinap di balik semua kesan-kesan bagus yang ditampilkan. Ia melekat, bukan pilihan terakhir.
Kelima, tentu saja baku hantam segelintir tidak bisa dijadikan ukuran bagi keseluruhan. Walau tak jarang, karena ikatan keseluruhan itu, yang segelintir bisa berkelahi mati-matian. Perkaranya bukan di sini.
Tapi, andai kalau baku hantam seperti itu bukan lagi pertunjukan di jalanan yang khas "Blue Collar". Misalkan di antara dua pengojek yang sama-sama kejar setoran dan bersenggolan lantas duel.Â
Namun baku hantam dimaksud terpantau mengalami "rutinisasi" di forum politik kaum muda--ingatlah di tahun 2015, forum Kominte Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) juga ricuh dengan baku hantam--lantas posisi tawar apa yang membuat mereka terus penting di hadapan negara?
Dibanding, sebut saja, organisasi pengojek, organisasi pembecak, atau organisasi petani yang menjaga tanahnya seperti di kasus Wadas? Â
Saya juga tak tahu jawabannya.Â
Keenam, kita memang tidak lantas seketika merevisi harapan dan kepercayaan kepada angkatan muda karena pertunjukan baku hantam yang semestinya tidak terjadi di forum pengusaha muda. Lagi pula, masa iya saya merevisi harapan dan kepercayaan terhadap diri sendiri?
Tapi dengan kejadian di forum politik Munas Hipmi yang ke-XVII itu, ketika baku hantam masih bisa terjadi. Bagaimana dengan forum politik dimana isinya jelata yang mudah sekali menggadaikan loyalitasnya kepada tokoh politik tertentu. Bahkan merelakan apa saja sebagai pertaruhannya. Â
Atau kita semestinya tidak menarik kesimpulan langsung dari keberadaan jelata dan politik yang rentan adu fisik. Atau jangan-jangan banyak jelata malah lebih selow dan cenderung masa bodoh saja.Â
Atau, kita mestinya berkata jujur saja bahwa yang dikenal sebagai kelompok Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) barulah kuat dalam berhimpunannya, bukan mentalitas pengusahanya.Â
Atau karena pengusaha itulah, mereka bisa menggunakan apa saja ketika kebuntuan membayang di depan mata. Mereka memiliki sumberdaya yang cukup untuk itu.Â
Atau...
Ah, lama-lama malah pusing sendiri menduga-duga mengapa bapak-bapak muda pengusaha itu bisa memutuskan baku hantam.Â
***Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H