Tidakkah kita seringkali tertipu dengan bungkus luar dari kerumitan internal yang, ya, rumit itulah. Â
Yang sulit dimungkiri, apapun judul penyebabnya, baik forum politik bapak-bapak muda pengusaha  dengan mahasiswa sama-sama menyediakan baku hantam adalah opsi yang possible.
Keempat, jangan lupakan dalil yang bilang begini. Berorganisasi adalah produk peradaban modern dimana manusia tidak perlu lagi mencapai tujuan dengan cara-cara pengrusakan dan pemusnahan.Â
Berorganisasi membuat setiap orang (semestinya) memiliki kesempatan yang sama, bukan cuma tujuan yang sejajar.Â
Pendek kata, berorganisasi, apalagi isinya pengusaha yang mewakili makhluk rasional-dingin-terukur-disiplin, manusia menjadi lebih beradab, tidak memilih cara-cara fisik dalam menyelesaikan perselisihan. Tapi...
Baku hantam dalam konteks di atas seolah-olah insting yang tidak lenyap di balik pesatnya perkembangan organisasi dan teori-teori yang membicarakannya.Â
Baku hantam lebih tampak sebagai latency--karena itu statusnya melampaui opsi--yang menyelinap di balik semua kesan-kesan bagus yang ditampilkan. Ia melekat, bukan pilihan terakhir.
Kelima, tentu saja baku hantam segelintir tidak bisa dijadikan ukuran bagi keseluruhan. Walau tak jarang, karena ikatan keseluruhan itu, yang segelintir bisa berkelahi mati-matian. Perkaranya bukan di sini.
Tapi, andai kalau baku hantam seperti itu bukan lagi pertunjukan di jalanan yang khas "Blue Collar". Misalkan di antara dua pengojek yang sama-sama kejar setoran dan bersenggolan lantas duel.Â
Namun baku hantam dimaksud terpantau mengalami "rutinisasi" di forum politik kaum muda--ingatlah di tahun 2015, forum Kominte Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) juga ricuh dengan baku hantam--lantas posisi tawar apa yang membuat mereka terus penting di hadapan negara?
Dibanding, sebut saja, organisasi pengojek, organisasi pembecak, atau organisasi petani yang menjaga tanahnya seperti di kasus Wadas? Â