Yaitu karena hadirnya energi, kreasi dan dalam batas tertentu, kompetisi yang menyebar baik.Â
Komunitas-komunitas Fiksi (bukan Fiktif) rajin sekali membuat even. Juga kursus-kursus kecil menulis. Bagi saya, yang seperti ini menjaga sedikit kewarasan di tengah adu (dungu) pendukung politik. Â
Lantas, mengapa mereka bubar pelan-pelan? Ada banyak sebab, tentu saja. Yang saya bilang di bawah ini semata spekulasi.
Para pegiat komunitas Fiksi itu mungkin tiba pada kejenuhan yang sejatinya niscaya. Mereka jenuh membuat even yang isinya itu-itu saja. Hadiahnya tidak pernah berubah.Â
Even yang dibikin pun tak pernah menjadi standar bagi dinamika dunia sastra, karena memang tidak diniatkan ke sana.Â
Atau, kedua, mereka sendiri merelakan diri terjebak konflik di dengan sesamanya. Mereka tidak menemukan "katup pengaman" yang memelihara mereka tidak melampaui batas.Â
Kebetulan saya cukup sering terlibat dalam even-even itu, termasuk pernah dibukukan.Â
Kenal dengan beberapa orang--masih secara virtual, terhubung juga di sosial media. Saya mendengar kisah-kisah konflik. Ujungnya, kreasi dan energi itu sudah tak ada lagi. Melorot diam-diam.
Saya duga mereka--sesudah dimakan jenuh dan konflik, pada akhirnya--menderita lelah dan belum menemukan momen untuk dikenang bangkit. Ini spekulasi saya terhadap komunitas pegiat Fiksiana saja.Â
Selanjutnya, mereka yang pergi itu mungkin menemukan kesenangan dan kenyamanan di tempat lain.Â
Kompasiana tidak pernah ditasbihkannya sebagai rumahnya yang sejati, tempat dimana dia dilahirkan, belajar dan berkembang.Â