Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mengapa Para Politisi Begitu Enteng Mengatasnamakan Kita-Kita yang Jelata Ini?

20 Oktober 2022   14:59 Diperbarui: 25 Oktober 2022   14:22 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Warga melintas di depan poster caleg yang masih terpasang di salah satu sudut Kota Tangerang, Banten, Minggu (27/4/2014). (Foto: KOMPAS/WISNU WIDIANTORO)

Barusan yang bilang begitu adalah Ganjar Pranowo dalam sebuah wawancara di televisi. Bapak yang juga Gubernur Jawa Tengah ini bilang, kira-kira, jika rakyat menghendaki, saya siap. Simpel, klasik dan menurut Anda?

Bapak yang satu ini memang lagi top-topnya. Jika kita mengacu pada lima survey elektabilitas Calon Presiden (Capres) 2024 yang dirilis detik news per Maret 2022, politisi dari PDI-P yang juga penyuka lagu-lagu Dream Theater ini selalu berada di tiga besar. Bersama Prabowo Subianto dan Anies Baswedan.

Tapi, berbeda dengan dua nama tersebut, Ganjar masih harus membereskan partai pendukungnya. Harus menghadapi kearah mana ibu Megawati meletakan telunjuk. Anies sudah resmi dideklarasikan Nasdem, sedang Prabowo adalah calon tunggal sampai maut memisahkan kita semua dari Gerindra.

Masalahnya saya terhadap konstelasi yang sedemikian tentu saja tidak di sana. Tidak tentang siapa yang bakal menang. Terlebih menerawang prospek Cak Imin, buat apa?

Seperti yang tercermin dalam judul, pertanyaan saya adalah kok begitu entengnya para politisi itu mengklaim atas nama rakyat? 

Lha, mengatasnamakan diri sendiri dalam menjalani kehidupan ini saja susahnya bukan main. Kok bisa-bisanya atas nama rakyat yang abstrak, yang penderitaannya seringkali hanya menjadi statistik di Susenas tahunan itu, mereka memasang klaim?

Satu kasus saja misalnya. Pernah di satu masa, rekening saya harus menampung uang kegiatan organisasi. Rekening ini dibikin di Jayapura. Dengan nomor seri yang banyak angka sembilannya. 

Karena deret angka cantiknya, saya jadi merasa ini pertanda bagi keberuntungan. Buktinya? Ya pernah menerima uang walau sekadar lewat.

Lantas, di suatu pagi, saya terbangun dengan semesta diri yang panik. ATM-nya hilang. Ya Allah, itu duit gimana gantinya?

Seorang kawan saya yang ustad, asli lulusan pesantren dan pembaca kitab gundul yang fasih, dan selalu berprasangka baik terhadap segala keadaan terpaksa harus sibuk. Saya mintai tolong mengeluarkan seluruh amalan yang dia miliki. Demi bisa mencari tahu dimana kartu itu berada. 

Dia mungkin berpikir, mengenaskan sekali kawanku yang satu ini. Orang miskin yang panik memang sering meminta tolong yang aneh-aneh.

Menunggu sampai jelang tengah hari, tak kunjung ada jawaban. Saya memutuskan pergi ke bank. Melapor dan meminta diblokir. Dengan berharap duitnya masih eksis.

Sesudah melapor, hal pertama yang saya syukuri adalah duitnya masih ada, sejumlah yang terakhir tercatat di saldo. Masalahnya datang kemudian. Saya harus membuktikan diri sebagai pemilik identitas yang sah. 

Maka data pribadi saya harus dicocokan dengan yang disimpan di bank asal, di Jayapura, Papua. 

Ditunggu-tunggu. Dinanti-nanti. Si mbak customer service-nya cuma minta sedikit sabar. Butuh waktu. Urusannya bukan lagi antara Anyer dan Jakarta. Ini sudah Jakarta-Jayapura, antara pusat yang menghisap dan pinggiran yang terseok-seok. Eh. 

Ilustrasi: bennaker.com
Ilustrasi: bennaker.com

Lalu data itu terkonfirmasi. Saya terus merasa keadaan sudah mulai dalam kendali. Sempat sedikit lega. Ternyata hanya jeda. Nama ibu kandung yang terekam dalam data akun saya tidak sesuai dengan nama yang saya sebutkan. Lho kok bisa?? 

Ibu saya cuma satu dan satu-satunya bernama seperti itu. Kok bisa beda sama yang dicatat? 

Si mbak terdiam, jelas ragu dan seolah meminta saya menceritakan siapa sebenarnya saya, dari keluarga yang bagaimana, memiliki riwayat kriminal atau tidak, sebelum memutuskan saya cukup pantas mendampinginya--hahaha. 

Si mbak sangat mungkin merasa tampang awut-awutan serupa saya ini sedang memalsukan identitas orang lain (sekali lagi: ADA DUIT BANYAK DI DALAMNYA).

Tapi saya tidak menyerah, semua data pribadi yang meyakinkan saya tunjukan. Bahwa saya benar-benar pemilik rekening itu--dengan sedikit memelas. Mungkin karena nada memelas itulah, sesudah berkonsultasi dengan petinggi di bank itu, mereka akhirnya percaya. "Tolong nama ibu saya diganti, mbak. Namanya bukan itu."

Berpuluh-puluh tahun kemudian, belum lama ini, kejadian yang sama berulang di Bitung, Sulawesi Utara. 

Kartu ATM yang sudah diganti dari rekening lama itu kali ini tak bisa lagi dipakai. Sudah sekitar 5 tahunan berfungsi karena itu, sepertinya, sudah aus--kayak mesin saja.

Lima tahun yang lalu, memang, saya pernah mengganti ATM di bank yang sama. 

Waktu itu, saya masih bekerja untuk sebuah organisasi sosial yang kantornya beralamat di Bogor. Sebenarnya saya sudah membuat akun rekening yang baru. Sebab itu yang berderet angka sembilan mulai diistirahatkan. 

Staf keuangannya malah salah mengirimkan gaji dan THR Lebaran. Dia mengirim ke rekening yang cukup lama istirahat. Waduuh. 

Sebenarnya kemalangan saya ini sama ATM atau duit banyak?

Ketika melapor, untung saja, ATM yang lama masih bisa direstorasi (udah kayak kampanye kosong sebuah partai saja). Tapi sebenarnya saya tak tahu kalau masih bisa berfungsi. Masalahnya kembali berulang, nama ibu saya juga salah. 

Lho, kok masih bisa salah?

Nah, kejadian yang barusan ini, ketika hendak mengganti kartu ATM yang asu eh aus, saya mesti mengkonfirmasi lagi nama ibu. Dan salah lagi! Permintaan mengubah nama ibu sesudah bertahun-tahun ternyata sama banknya tidak dilakukan. 

Bangke nian. Sebenarnya saya anak siapa? :(

Keputusannya adalah bikin rekening baru lagi. Dengan data yang sebenar-benarnya, yang tidak boleh salah dicatat. 

Dari pengalaman yang tidak penting namun kemungkinan besar terjadi kepada banyak jelata, perkaranya benderang. Saya ini lho, mengaku atas nama saya sendiri saja bukan perkara yang mudah. Apalagi tanpa orang dalam. 

Itu orang-orang pemburu kekuasaan itu kok bisa-bisanya mengaku demi banyak orang yang tidak dikenalinya dengan persis? 

Seolah-olah mereka akan membereskan nasib kita yang sering kali terlunta-lunta di hadapan birokrasi yang sok tertib, dingin dan menjengkelkan. Padahal ujung-ujungnya minta pelicin juga. 

Padahal kita sangat sering diberi kenyataan yang berulang, yang disebut rakyat dalam klaim-klaim politisi lebih sebagai pertunjukan posisi tawar dalam perkara siapa memenangkan siapa, bukan siapa melayani siapa.

Ini dua terma yang bukan saja gak otomatis, tak jarang juga "kamuflastik" belaka. Kalau bukan malah berbenturan.

Mengapa begitu? Karena ada kuasa yang pejal bernama partai dan modal di antara si politisi dengan rakyat yang diklaimnya. Semanis-manisnya dia memelihara tutur kata. Sepopulis-populisnya dia merawat citra. Dia bukan pribadi yang merdeka. 

Kan bisa menelisik rekam jejak? 

Sebagai yang lahir, besar dan hidup sederhana dari pinggiran sungai saja mesti membangun posisi tawar dengan kuasa militer serta partai-partai (yang anggota parlemennya sering menjengkelkan itu), apalagi yang sejenis dengannya. 

Eh, yang ini arahnya ke mana nih?

Makanya itu saya masih bingung. Kok bisa mereka begitu entengnya menyebut-nyebut jika rakyat menghendaki, mengapa tidak? Diulang-ulang pula. Enteng banget. 

Hehehe. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun