Dari pengalaman yang tidak penting namun kemungkinan besar terjadi kepada banyak jelata, perkaranya benderang. Saya ini lho, mengaku atas nama saya sendiri saja bukan perkara yang mudah. Apalagi tanpa orang dalam.Â
Itu orang-orang pemburu kekuasaan itu kok bisa-bisanya mengaku demi banyak orang yang tidak dikenalinya dengan persis?Â
Seolah-olah mereka akan membereskan nasib kita yang sering kali terlunta-lunta di hadapan birokrasi yang sok tertib, dingin dan menjengkelkan. Padahal ujung-ujungnya minta pelicin juga.Â
Padahal kita sangat sering diberi kenyataan yang berulang, yang disebut rakyat dalam klaim-klaim politisi lebih sebagai pertunjukan posisi tawar dalam perkara siapa memenangkan siapa, bukan siapa melayani siapa.
Ini dua terma yang bukan saja gak otomatis, tak jarang juga "kamuflastik" belaka. Kalau bukan malah berbenturan.
Mengapa begitu? Karena ada kuasa yang pejal bernama partai dan modal di antara si politisi dengan rakyat yang diklaimnya. Semanis-manisnya dia memelihara tutur kata. Sepopulis-populisnya dia merawat citra. Dia bukan pribadi yang merdeka.Â
Kan bisa menelisik rekam jejak?Â
Sebagai yang lahir, besar dan hidup sederhana dari pinggiran sungai saja mesti membangun posisi tawar dengan kuasa militer serta partai-partai (yang anggota parlemennya sering menjengkelkan itu), apalagi yang sejenis dengannya.Â
Eh, yang ini arahnya ke mana nih?
Makanya itu saya masih bingung. Kok bisa mereka begitu entengnya menyebut-nyebut jika rakyat menghendaki, mengapa tidak? Diulang-ulang pula. Enteng banget.Â
Hehehe.Â