Dia mungkin berpikir, mengenaskan sekali kawanku yang satu ini. Orang miskin yang panik memang sering meminta tolong yang aneh-aneh.
Menunggu sampai jelang tengah hari, tak kunjung ada jawaban. Saya memutuskan pergi ke bank. Melapor dan meminta diblokir. Dengan berharap duitnya masih eksis.
Sesudah melapor, hal pertama yang saya syukuri adalah duitnya masih ada, sejumlah yang terakhir tercatat di saldo. Masalahnya datang kemudian. Saya harus membuktikan diri sebagai pemilik identitas yang sah.Â
Maka data pribadi saya harus dicocokan dengan yang disimpan di bank asal, di Jayapura, Papua.Â
Ditunggu-tunggu. Dinanti-nanti. Si mbak customer service-nya cuma minta sedikit sabar. Butuh waktu. Urusannya bukan lagi antara Anyer dan Jakarta. Ini sudah Jakarta-Jayapura, antara pusat yang menghisap dan pinggiran yang terseok-seok. Eh.Â
Lalu data itu terkonfirmasi. Saya terus merasa keadaan sudah mulai dalam kendali. Sempat sedikit lega. Ternyata hanya jeda. Nama ibu kandung yang terekam dalam data akun saya tidak sesuai dengan nama yang saya sebutkan. Lho kok bisa??Â
Ibu saya cuma satu dan satu-satunya bernama seperti itu. Kok bisa beda sama yang dicatat?Â
Si mbak terdiam, jelas ragu dan seolah meminta saya menceritakan siapa sebenarnya saya, dari keluarga yang bagaimana, memiliki riwayat kriminal atau tidak, sebelum memutuskan saya cukup pantas mendampinginya--hahaha.Â
Si mbak sangat mungkin merasa tampang awut-awutan serupa saya ini sedang memalsukan identitas orang lain (sekali lagi: ADA DUIT BANYAK DI DALAMNYA).
Tapi saya tidak menyerah, semua data pribadi yang meyakinkan saya tunjukan. Bahwa saya benar-benar pemilik rekening itu--dengan sedikit memelas. Mungkin karena nada memelas itulah, sesudah berkonsultasi dengan petinggi di bank itu, mereka akhirnya percaya. "Tolong nama ibu saya diganti, mbak. Namanya bukan itu."