Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Biaya Kuliah (Selalu Akan) Mahal, tapi Menjadi Warga Negara Lebih Berat dari Itu

1 Agustus 2022   11:19 Diperbarui: 1 Agustus 2022   12:01 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Rektorat Universitas Sam Ratulangi | unsrat.ac.id

Sekolah adalah jalan panjang untuk pergi dari rumah, liburan dan pulang bertahan di kos-kosan atau asrama mahasiswa.

Asal-usul dan Sejenis Drama 

"Kalau kamu nanti tiba di pelabuhan Makasar, hati-hati dengan tukang gendam. Jangan mudah percaya sama orang baru."

Bapak hanya bilang begitu lalu kembali ke Bonggo, tempat beliau mengajar di sebuah SMP. Beliau percaya saya akan lolos Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Dan saya akan berangkat sendiri, pergi jauh dari rumah untuk pertama kalinya. 

Semasa menunggu pengumuman lulus UMPTN di tahun 1999 itu, ada pemilu pertama paska-orba dan banjir besar yang membawa air, batang pohon, bebatuan dan lumpur ke pemukiman kecil bernama Perumnas IV, Padang Bulan. Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba saja kampung kecil dengan kebanyakan penghuninya berstrata ekonomi menengah ke bawah yang terletak di bawah bukit ini ramai dikunjungi warga dari tempat yang jauh. 

Kabar sesudah banjir dan perkampungan yang berantakan berubah menjadi "obyek wisata". Tentu saja ada bantuan dari sesama warga, ada juga pertolongan negara dengan mengirim aparat beserta perlengkapan seperti perahu karet. Mungkin juga ada tangan-tangan partai politik tapi pemilunya saja saya memilih tidak mencoblos, lantas apa pentingnya mereka?

Yang mau saya katakan adalah saya menunggu pengumuman itu dengan kekhawatiran yang ditimbulkan oleh bencana, bukan oleh bayangan masa depan yang suram jika tidak melanjutkan sekolah ke jenjang universitas. 

Saya memang memilih dua universitas, Hasanuddin dan Sam Ratulangi. Bukan saja belum pernah ke Makassar atau Manado, alasan-alasan saya memilih jurusan Hukum dan Sosiologi juga tidak dibekali persiapan yang serius. Terutama pilihan pada yang terakhir, semata karena kansnya yang besar.

Lalu, ketika hari pegumuman kelulusan dipajang di halaman kampus universitas Cendrawasih, dimana nama saya tertera di sana dan tidak mungkin tertukar sebab hanya ada dua orang yang menggunakan nama ini, teman-teman saya malah berwasiat begini.

"Selamat, kawan. Cuma ko yang keluar dari kompleks sini. Jaga nama baik kampung, jang lupa klo libur, pulang bawa cap Tikus."

Kita bahkan tidak membicarakan universitas Sam Ratulangi adalah kampus seperti apa, bagaimana dia ada, dan siapa sebenarnya Sam Ratulangi itu. Parah memang. 

Perasaan saya seolah duta dari kampung kecil yang diberi kehormatan meneguk cap Tikus yang murni langsung di pusat penemuannya yang agung. Tidak seperti oplosan yang dijual di warung pinggir jalan sekitar Abepura.

Maka saya berangkat dengan emosi yang ambivalen. Dari atas kapal buatan Jerman, KM Umsini, saya melihat wajah ibu saya di bawah sana. Belum ada perasaan sedih. 

Saya masih diselimuti gembira, akhirnya bisa tembus universitas negeri dan membuat bapak yang keras hati itu bisa sedikit bangga sesudah tahun-tahun yang menjengkelkan di SMA, hehehe. 

Kapal bajalan, ngana masi di dermaga. Lanbaikan tangan kong baseka air mata. Akhirnya saya akan pergi ke kota dimana tembang Manado itu dinyanyikan. Selamat tinggal Jayapura, sampai jumpa lagi. 

Perlahan, kapal berlayar dan serangan psikis terhadap perantau pemula dimulai. Drama yang konstan.

Entah dari mana, angin basah dan bau udara yang asin itu membawa serangan kehampaan yang tak bisa ditolak. Tiba-tiba saja saya kangen rumah, kangen mama dan dua adik, kangen perumnas IV; kangen kepada segala yang mengasuh masa remaja. Duh. 

Celakanya di malam pertama ketika sedang tidur di lorong yang menuju kamar kelas, saya kehilangan dompet, tiket dan identitas. Makin menjadi-jadilah kangen dan kesedihan itu. Bagaimana saya bisa tiba di Bitung? 

Belum juga tiba di tujuan, sudah kehilangan begini. Tapi keputusan sudah diambil. Sekali layar terkembang, pantang surut ke tepian.

Saya memutuskan mengikuti permainan di kapal. Bayar saja petugas, lalu bersiaplah kucing-kucingan. Cara ini sukses membuat saya akhirnya tiba di Bitung dan dijemput Om yang tinggal di Maumbi, Minahasa Utara. Jelang subuh.

Menjadi Mahasiswa Fisipol 

Kota Manado di permulaan tahun 2000 belum dikoloni instalasi konsumsi dimana-mana (baca: kompleks mall, gerai fast-food, dll) seperti sekarang ini. Pesisirnya masih dipenuhi tenda-tenda pedagang kaki lima. Sudah ada rumah kopi dan jalan roda.

Saya pergi ke universitas diantar kakak sepupu, yang sedang menyusun tugas akhir di fakultas Teknik. Sesudah beres perkara administrasi, kini bersiap menjalani Ospek selama seminggu lebih. 

Ospek yang setiap pagi diisi dengan nyanyian protes para demonstran. Maklum saja, Soeharto baru tumbang dan senior-senior saya masih enggan melihat euforianya meredup terlalu cepat.

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) di universitas Sam Ratulangi ternyata bukan sembarang institusi dalam ukuran Sulawesi Utara. Kampus ini mengimani filosofi Sitou Timou Tumou Tou: Manusia Hidup untuk Memanusiakan Manusia.

Selain menjadi tempat yang menginkubasi perlawanan terhadap negara orde baru, banyak alumninya yang tergolong sukses di level politik pemerintahan. 

Dosen saya, meneer Wempie Frederik (2000-2005) misalnya, adalah pejabat walikota Manado. Kemudian rektor yang mantan dekan Fisipol, Adolf Jouke Sondakh, juga menjabat gubernur periode 2000-2006. Paling kini, ada sosok Benny Rhamdani yang ditugaskan presiden Jokowi sebagai Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).

Tapi bukan ini perkara utama yang menjadi alasan mengapa universitas Sam Ratulangi bukanlah sembarang tempat belajar. 

Di kampus dengan warna kebanggaan oranye ini, saya bertemu dan dididik dosen sekaligus pendeta yang membebaskan pikiran dari ilusi bahwa jurusan SMA IPA adalah yang terbaik. Kesaksian tentang dosen saya yang hebat itu telah ditulis di Kepada Guruku yang Pendeta dan Sosiolog Itu. 

Tahun berjalan, saya mulai menemukan alasan-alasan untuk betah dan lebih bertanggungjawab dari pertanyaan mengapa orang pergi jauh dari rumah untuk sekolah di universitas.

Tapi fakultas saya bukan sekadar perlawanan, alumni yang sukses di politik (lokal) sampai hari ini, dan seorang dosen yang menguji pikiran setiap hari. Fakultas Isipol Sam Ratulangi saat itu hanya meminta bayaran SPP sebesar Rp. 120.000 ditambah dana lain-lain sebesar Rp. 11.000.

Sehingga mulai masuk tahun kedua, saya hanya membayar Rp. 131.000/semester! Besaran rupiah yang untuk hari ini tidak meyakinan dipakai mengajak gebetan nongkrong di Jalan Roda (Jarod). Saat itu, nilai segitu sudah bisa memastikan 6 bulan belajar mengajar mahasiswa fisipol berjalan. 

Nominal SPP sebesar itu mungkin tidak mencekik ayah saya yang harus menyekolahkan tiga orang anak. Saya sendiri harus bersiasat dengan kiriman Rp.300.000/bulan. Penggunaannya tercatat seperti ini: bayar kamar kost Rp.100.000/bulan, sisanya buat fokopi bahan ajar, beli buku di toko buku Utama, sedikit rokok ketengan dan beli lauk di 1 minggu pertama. 

Biaya seperti itu hanya mungkin bertahan dengan ditemani jalan kaki sejauh 1 kilometer hampir setiap hari sebelah pasar Bahu, dan ngutang supermi rasa ayam bayang di kios ibu kota begitu memasuki minggu kedua. 

Walhasil di tahun ketiga, saya terpapar tipes stadium-II. Saya harus dirawat di VIP dan itu menambah-nambah berat orangtua.

Walau begitu, situasi saya masih jauh lebih baik dari nasib salah satu kawan yang juga datang dari Papua. Tidak seperti yang menjadi bagian dari masyarakat lingkar tambang Freeport yang mendapat beasiswa.  

Dia bukan saja tak memiliki keberuntungan itu, dia juga seorang diri dan harus bertahan hidup dengan mengurusi kebun warga, menanam bahan pangan dan mendapatkan upah. Dia tidak merokok dan terpaksa berjuang melawan TBC semasa kuliah. Seingat saya, kuliahnya tak selesai.

Tahun kedua, adiknya perempuan saya menyusul kuliah di Sam Ratulangi. Dengan jumlah kiriman bulanan yang sama. Bedanya SPP-nya lebih mahal karena di fakultas eksakta (!!). Dia selesai lebih cepat, tentu saja. 

Sementara saya, yang belakangan baru tahu betapa menderitanya ayah dan ibu menyekolahkan kami, pelan-pelan mulai merasa belajar di kampus adalah ritus yang menjemukan, alih-alih memerdekakan.

Semasa menyekolahkan kami bertiga, ayah saya sering tidak punya sisa uang. Gajinya sudah habis untuk kiriman bulanan dan cicilan rumah. Bersama ibu, mereka bertahan sehari-hari dengan sisa gaji ibu yang tersedot membiayai anak-anaknya yang merantau sekaligus. 

Ayah saya juga menolak opsi menjadi diktator: jual diktat buat beli motor. Sesekali ada anak-anak tetangga yang meminta les ke rumah tapi ibu menolak dibayar. Sepasang guru ini juga tak punya toko atau usaha sampingan. Mereka hanya punya gaji dan keyakinan.

Dengan kiriman bulanan sekitar tiga ratus ribu rupiah di awal-awal perkuliahan, apa yang akan terjadi jika biaya SPP di Sam Ratulangi lebih dari dua ratus ribu, ditambah biaya-biaya yang lain?

Makanya saat itu jika pergi ke perpustakaan fakultas yang lebih mirip gudang penampungan skripsi, saya tidak memelihara protes berkepanjangan seperti nyanyian protes senior-senior selama Ospek. Kecuali kepada penjaganya, seorang ibu yang jarang sekali tersenyum dan tak pernah sudi berkompromi perkara denda buku yang telat dikembalikan.

Saya akhirnya selesai sesudah tahun-tahun yang panjang di Sam Ratulangi. Sebagai angkatan terakhir yang masih membayar SPP senilai seratus ribu rupiah.

***

Dari drama seorang calon mahasiswa yang berangkat dengan kapal Umsini, mengalami kehilangan di malam pertama pelayaran, hidup dengan kiriman tiga ratus ribu setiap bulan. 

Membayar SPP hanya seratus ribu rupiah lebih sedikit di universitas yang menyandang nama besar futurolog Sam Ratulangi, bayangkanlah kehidupan mahasiswa di kampus yang lebih kecil di sudut-sudut Indonesia yang jauh dan serba terbatas. Bayangkan juga bagaimana nasib mereka seperti kawan Papua atau yang lebih mengenaskan dari itu bisa bertahan.

Pun sesudah keluar dari lingkungan belajar yang makin mahal, kamu juga tidak serta merta bisa mengembalikan biaya yang sudah dikeluarkan; maka investasi seperti apa yang dimengerti dari menyekolahkan generasi, dari kehadiran negara, dari semua cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa?

Maka kalau kamu diingatkan biaya kuliah mahal. Sadari saja jika menjalani hidup sebagai mahasiswa (perantau) walau hanya di seberang pulau, kamu dituntut menyiapkan diri yang lebih besar dari biaya hidup yang mahal dan nasib yang kere.

Kamu sedang ditantang tetap waras sebagai warga negara. Hehe!  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun