Walau sarat pemantauan dan pengawasan serta menuntut kepatuhan (itulah alasan mengapa pandemi covid-19 ini membuka kesempatan bagi kontrol yang lebih total dari negara), saya harus tetap ikut terbang karena mengantar ibu yang sepuh.Â
Kasih ibu jelas bekerja sepanjang hayat, masa iya sepanjang penerbangan saja saya tak mampu menemaninya. Payah!
Tapi cerita ini hanyalah kesaksian dari dalam bandara. Kesaksian dalam masa menunggu sebelum melanjutkan perjalanan.Â
Pertama, di Sam Ratulangi. Saat kami mendarat dari Ternate. Hari sedang menuju sore.Â
Di ruang tunggu pengambilan bagasi, telah berkembang antrian mengular para penumpang yang hendak melakukan tes antigen. Saya tidak terlalu memperhatikan tapi rasanya para penumpang yang baru tiba dari Jakarta.Â
Di hadapan mereka, ada 6 meja dengan dua petugas berpakaian APD. Bersiaga melayani pengambilan sample.
Saya mengantar ibu ke sebuah tempat duduk. Kemudian meminta ijin sebentar ke kamar toilet. Ingin membersihkan lubang hidung selain mencuci muka. Yah, agar supaya petugasnya merasa nyaman ketika melihat ke dalamnya.
Ketika kembali ke tempat terakhir saya meninggalkan ibu, ada seorang pemuda yang sedang menemani ngobrol. Saya taksir usianya mungkin menuju 30-an. Di dadanya tergantung anggota satgas. Tiba-tiba ibu saya berdiri sesudah melihat anak lelaki tertuanya ini datang.Â
Wah ada apa ini?Â
"Mari, bu. Ikut saya." Kata si pemuda dengan potongan cepak rapi.