Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dua Anak Muda dengan Inisiatif Kecil yang Bersahaja di Bandara

19 Februari 2022   07:48 Diperbarui: 4 Maret 2022   15:47 1892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tugu Kasuari di halaman kantor Gubernur Papua Barat| Dok. Pribadi

Dalam sepekan terakhir, saya harus terbang ke wilayah Timur Indonesia. Penerbangan jarak pendek melintasi gugusan awan dan pulau-pulau yang syahdu.

Pertama, ke Ternate. Kota di kaki gunung Gamalama yang landmark-nya dibentuk dari jejak kolonial dan ambisi kekinian menjadi kota jasa dan perdagangan. Di perjumpaan keduanya, ada masa lalu traumatik karena konflik komunal yang menyertai bangkrutnya rezim Soeharto. 

Kemudian melanjutkan terbang ke Manokwari. Dari Manado, penerbangan ke Manokwari lebih ringkas. Hanya perlu sekali transit di Sorong. Waktu tempuhnya juga lebih pendek. Hanya menghabiskan 1 jam 40-an menit.

Manokwari adalah kota pantai yang menjadi ibu kota propinsi Papua Barat. Propinsi ini menggunakan burung kasuari sebagai ikonnya. Selain itu, Manokwari adalah kota dengan bentang pantai yang indah, terutama jika melihatnya dari udara. 

Tapi di sini, ambisi "penguasaha" (baca: persilangan penguasa dan pengusaha) menjadikannya sebagai kota dengan imajinasi jasa dan perdagangan level metroplis belum menjadi "ideologi dominan". Tidak seperti Manado, misalnya.

Memilih terbang di musim pandemi adalah menyediakan diri kedalam prosedur yang melelahkan, tak jarang memelihara kecemasan dan kejengkelan sekaligus, tapi harus ditaati demi kebaikan umum. 

Seperti harus melewati tes antigen jika Anda sudah dua kali vaksin. Jika baru sekali, harus memiliki dokumen hasil tes PCR yang negatif. Menginput data penerbangan (nama, NIK, pesawat, nomor kursi, bandara asal dan tujuan) ke dalam aplikasi pemantau Peduli Lindungi, kemudian melakukan validasi sebelum boleh mengantri di depan konter check-in.

Jika baru tiba di Manado, Anda masih harus dites antigen lagi sebelum diperbolehkan keluar dari bandara. 

Bayangkan saja penerbangan ke Manado adalah perjalanan super penting. Misalnya Anda akan menikah dengan perempuan yang telah menunggu bertahun lama. Anda terbang dari Jakarta sesudah malam yang gelisah.

Sesampainya di Bandara Sam Ratulangi, hasil antigennya positif. Anda terus dilokalisir oleh satgas ke rumah singgah untuk isoman. Sementara akad nikahnya tinggal 3 hari di muka. Tidakkah akan terbersit di benak Anda menjadi pasangan kedua yang bikin acara nikahan di metaverse sesudah dua sejoli dari India? 

Walau sarat pemantauan dan pengawasan serta menuntut kepatuhan (itulah alasan mengapa pandemi covid-19 ini membuka kesempatan bagi kontrol yang lebih total dari negara), saya harus tetap ikut terbang karena mengantar ibu yang sepuh. 

Kasih ibu jelas bekerja sepanjang hayat, masa iya sepanjang penerbangan saja saya tak mampu menemaninya. Payah!

Situasi penumpang yang sedang mengantri untuk validasi dokumen hasil tes antigen di bandara Sam Ratulangi, Manado. | Dok. Pribadi
Situasi penumpang yang sedang mengantri untuk validasi dokumen hasil tes antigen di bandara Sam Ratulangi, Manado. | Dok. Pribadi

Tapi cerita ini hanyalah kesaksian dari dalam bandara. Kesaksian dalam masa menunggu sebelum melanjutkan perjalanan. 

Pertama, di Sam Ratulangi. Saat kami mendarat dari Ternate. Hari sedang menuju sore. 

Di ruang tunggu pengambilan bagasi, telah berkembang antrian mengular para penumpang yang hendak melakukan tes antigen. Saya tidak terlalu memperhatikan tapi rasanya para penumpang yang baru tiba dari Jakarta. 

Di hadapan mereka, ada 6 meja dengan dua petugas berpakaian APD. Bersiaga melayani pengambilan sample.

Saya mengantar ibu ke sebuah tempat duduk. Kemudian meminta ijin sebentar ke kamar toilet. Ingin membersihkan lubang hidung selain mencuci muka. Yah, agar supaya petugasnya merasa nyaman ketika melihat ke dalamnya.

Ketika kembali ke tempat terakhir saya meninggalkan ibu, ada seorang pemuda yang sedang menemani ngobrol. Saya taksir usianya mungkin menuju 30-an. Di dadanya tergantung anggota satgas. Tiba-tiba ibu saya berdiri sesudah melihat anak lelaki tertuanya ini datang. 

Wah ada apa ini? 

"Mari, bu. Ikut saya." Kata si pemuda dengan potongan cepak rapi.

Saya hanya melihat mata ibu. Kata-kata yang tertulis di mata saya cuma tunggal, "Ma, ada apa?"

Tapi ibu saya menunda memberi keterangan. Ikuti saja apa yang sedang mereka rencanakan. Walau status anak pertama, tidak usah berkecil hati karena beberapa keputusan mungkin tidak melibatkan dirimu. Kamu bukan presiden!

Anak muda itu membawa kami memotong antrian. Langsung ke meja petugas. Wah, asik nih, batin saya sembari melirik ke antrian panjang.

"Tolong ibu ini dirapid." Bisik si anak muda ke petugas. 

Saya terus tahu apa yang terjadi. Tapi sebaiknya mendengar dari kesaksian ibu saja.

"Jadi tadi itu pas mau duduk, mama permisi sama petugas itu. Mungkin karena melihat mama cuma sendiri, dia terus tanya sama siapa. Mama sudah bilang sama anak, lagi di toilet. Dia terus bilang mari ibu ikut saya tes antigen."

Anak muda anggota satgas itu bahkan mengantar kami ke petugas skener dokumen EHAC hingga keluar bandara. Memastikan jika prosedurnya tidak membuat kami ribet. 

"Hari ini so ada sekitar 20-an yang reaktif," ujarnya pelan. Seperti menegaskan kewaspadaan. 

Waduh, banyak juga. "Terima kasih banyak. Terima kasih." Hanya itu yang saya ulang-ulang ketika kami berpisah di pintu keluar Sam Ratulangi. 

Saya melihat ibu saya. Beliau hanya tersenyum. Anugerah orang sepuh, batin saya. Hehehe.

Inisiatif anak muda anggota satgas itu patut dikenang. Di tengah kelelahan mengawasi antrian dan memastikan prosedur kedatangan penumpang ditegakkan, dia masih memiliki kepedulian. Terutama kepada mereka yang sepuh dan bepergian sendirian.

Rispek! Kalau kata komika.

Sambutan selamat datang ketika tiba di Sorong | Dok. Pribadi
Sambutan selamat datang ketika tiba di Sorong | Dok. Pribadi

Lalu, kejadian kedua di bandara internasional Domine Eduard Osok. Di dalam toilet. Saat sedang transit menunggu penerbangan ke Manado.

Saya harus ke toilet untuk memastikan kedua kalinya jika kamar mandi yang memiliki kloset duduk sudah kosong. Tapi pas tiba di depan pintunya, rasa itu sudah hilang. Tak ada penumpang lain di dalam sini. Hanya seorang anak muda, mungkin baru lepas 20-an. Dia seorang petugas cleaning service. 

Pada kunjungan pertama ke toilet, anak muda ini sedang berdiskusi serius dengan seniornya yang seorang ibu. Bukannya kepo, bandara ini kecil. Jarak mereka tak jauh dari posisi saya berdiri dan menunggu. Seniornya itu seperti sedang menunjukan rasionalisasi dari keputusan yang harus diambil.

Jadi ketika tersisa kami berdua di depan wastafel, saya berusaha akrab. 

"Pesawat yang ke Manado jam berapa ka? Macam mo delay e. "

Dia hanya melihat sebentar. Terus bilang. "Bapak ke Manado ka?"

"Iyo." Dalam hati saya, kenapa de tra panggil kaka saja?

"Nanti tunggu pesawat yang dari Jayapura." 

"Oooh." Terakhir saya pulang ke Jayapura tahun 2011. Wajar sekali jika tidak memahami lagi jam kedatangan pesawat dan jalur transitnya. 

Saya terus sibuk mencuci tangan. "Sa mo antar ini dulu." Anak muda ini pamitan walau tak harus.

Saya menengok sebentar. Selembar boarding pass. Waduh, kebayang paniknya yang namanya tertera di sana. Pas di depan mulut belalai gajah baru tahu kertas selembar yang mengijinkan dirinya menumpang terbang tak ada di tangan.

"Betul. Jang sampe yang punya de panik." Cuma ini balasan saya. Anak muda ini terus berlalu.

Tibat-tiba saya merasa senang. Mungkin juga haru. Kebaikan seperti anak muda petugas kebersihan bandara memang ini bukan sesuatu yang luar biasa. 

Bukan jenis kebaikan yang langka. Mungkin juga sudah bagian dari prosedur. 

Namun saya tetap saja merasa di ruang bandara yang semua orang sibuk dengan dirinya sendiri. Tidak memiliki cukup ruang berbicara dengan sesamanya, entah karena kelelahan dan pikirannya terlanjur tiba duluan di tujuan. 

Apalagi di hadapan protokol pandemi, lebih kuat alasan bersembunyi di balik masker dan gawai.

Inisiatif untuk membawa boarding pass yang tertinggal ke ruang informasi bandara adalah tindakan yang bermakna. Sekali lagi, seperti para komika: RISPEK!!

Saya kembali ke tempat duduk. Pikiran saya tidak lagi menunggu pesawat datang dari Jayapura. Saya ingin mengabadikan dua anak muda ini. 

Cerita kebaikan kecil mereka bakal tayang di Kompasiana.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun