Alasan pertama. Kamu mengalami masa remaja di kota kecil. Sekali-kali kamu merasa kesal sebab menjadi bagian dari ketertinggalan. Tapi dalam kebanyakan situasi, kamu justru bersyukur. Dalam ketertinggalan itu kamu menjadi "manusia udik".Â
Apa itu manusia udik?Â
Orang-orang cenderung menyebutmu kampungan, norak, ndeso atau mangkage. Kamu memiliki problem adaptasi dengan ruang sehari-hari urban. Kamu bahkan tiba-tiba dihajar mabuk saat keluar dari lift. Atau hampir terjengkang saat berada di eskalator. Mereka tidak tahu, diam-diam kamu menyembunyikan keringat dingin. Â
Walau begitu, udikisme mungkin bisa kamu mengerti lebih positif. Kalau bukan "anarkis". Seperti apa wujudnya?
Selayaknya manusia yang selalu menyiapkan kecurigaan terhadap segala rupa yang disebut sebagai kehidupan urban yang kemilau, penuh fasilitas dan kesenangan. Manusia yang selalu merasa mesti ada yang disembunyikan dari gemerlap urbanisme sebagai gaya hidup itu.Â
Pendek kata, dalam keudikanmu, selalu tersedia sedikit dosis skeptisisme terhadap yang disebut kemajuan dan pembangunan (kota). Tapi kita tidak membicarakan bagian ini, hehehe.
Kedua, walau itu kota kecil, Jayapura namanya, kamu sudah bergaul dengan kebiasaan berolahraga.Â
Di kotamu, selalu ada anak-anak bermain bola. Entah di tanah lapang, halaman sekolah, parkiran masjid, parkiran ruko yang kosong hingga di pinggir lapangan sepak bola. Tapi kamu ingin mencoba pengalaman baru.Â
Maka kamu memilih menjadi bagian dari klub basket. Namanya Flying Wheel. Beberapa sahabatmu ada di sini dan berkembang sebagai pemain inti. Sedang kamu tidak.Â
Melakukan lay up shooting saja kamu sering salah langkah. Lebih sering bolanya hanya memantul di papan. Lebih parah lagi, kamu pernah diduelkan dengan kelompok perempuan. Dan kalah!