Amat Victoria Curam!!
Seluruh asumsimu terkait modalitas dari masa lalu itu bullshits belaka. Hanya mereka yang tekun terlatih yang akan menang.Â
Alasan keenam. Maka kamu harus memulai lagi dari nol. Seperti cerita di Berlari, "Healthism dan Cerita Seorang Amatir. Lagi dan lagi, kamu tak memiliki sepatu yang layak. Untung saja di Sampit, ada jejaring babebo yang menjual sepatu bermerek bekas.
Karena itu kamu bisa memulai lari dengan sepatu bekas kaki orang lain, seperti Adidas generasi Franz Beckenbauer. Selain harganya miring, tapaknya masih nyaman. Walau bentuknya sudah kaku.
Kamu terus berlari dengan sepatu bekas itu. Seringkali harus menderita keram-keram karena bentuknya yang tak selaras dengan bentuk kakimu. Tapi menyerah hanya akan jadi pilihan yang tak layak kamu ceritakan di masa depan.Â
Kamu harus tetap berkibar-kibar walau lebih banyak sibuk dengan pasang surut sendiri.Â
Setidaknya ini lebih baik dari pada ramai baliho politisi yang mengotori pemandangan kota dan kebanyakan orang tidak peduli siapa yang ada di sana! Ini bisa jadi alasanmu yang ketujuh. Ups.
Sesekali, kalau sedang dipanggil ke Bogor, kamu tetap berlari. Terutama di sekitar kebun raya Bogor. Dengan sepatu bekas dan sepatu pinjaman jenis Brooks yang keseringan dianggurin.Â
Hingga nasib bekerja di pinggiran kembali membawamu ke Sumatera Selatan. Hati kecilmu gembira. Perjalananmu dari timur telah tiba di Barat. Perjalanan yang membuat "udikisme" masih menyala-nyala.Â
Kemudian, pada suatu sore, kamu main-main ke Kambang Iwak. Taman kecil dengan kolam di tengahnya yang memiliki lintasan untuk berlari.Â
Wah, ada banyak manusia yang memilih mengeluarkan keringat di lintasannya yang tak panjang. Apa yang sudah dimulai di Kalimantan, hendaknya berlanjut di sini. Ini alasanmu yang kedelapan.