Mulai terbit perasaan dengan outfit yang mulai mendekati para pelari yang serius, kamu juga semestinya bersungguh-sungguh. Malu sama diri sendiri jika gagah-gagahanmu hanya mengulang omong kosong mulut kekuasaan di kasus yang lain, hehehe. Â
Kemudian pandemi covid-19 diumumkan. Kamu sedang di pinggiran Yogyakarta dan membawa sepatu ini berlari di sekitar alun-alun Kulonprogo. Dimana tempat kamu datangi, kamu berharap bisa berlari dan mengabadikannya di Strava.
Kamu sadar jika jiwamu memiliki dosis narsisme yang cukup.Â
Kamu selalu ingin menandai setiap kota yang kamu datangi dengan berlari lalu merekam statistiknya. Kemudian membagikannya di sosial media. Tapi bukankah ini lebih baik dari pada kekuasaan yang bertutur kata santun tapi keji dalam menggusur? Eh.
Pandemi memaksa dunia berhenti sebentar. Membuat globalisme mengalami jeda. Membuatmu menyadari jika dua tahun dalam berlarian adalah sebuah modalitas fisikal yang keren. Tubuhmu jauh lebih bugar walau bukan jaminan terbebas dari serangannya.Â
Tapi barangkali berkah dari pandemi adalah kamu memiliki waktu yang lebih banyak di rumah. Waktu yang tidak kamu miliki karena sedang menghabiskan masa cuti pekerjaan. Berlari adalah salah satu cara mengenali lingkungan sekitar. Lingkungan yang sejuk di bawah kaki gunung Klabat.
Dan kamu terus berlalu sepanjang tahun dengan sepatu yang kini memasuki usia menjelang dua tahun. Warnanya masih putih walau agak memudar. Tapaknya mulai miring karena terkikis aspal.
Lantas pagi barusan, kamu berlari sejauh 5 kilometer. Menyusuri jalan lingkar yang tersambung ke pintu masuk tol Airmadidi. Seperti biasanya.
Tiba-tiba, kamu merasa ada yang janggal. Ada yang sepertinya terlepas. Jangan-jangan?
Sepatumu memang sudah aus. Hampir 3 tahun ia menemani tekadmu melayan inkonsistensi. Tekadmu untuk tetap berlari sekalipun untuk dikenang-kenang sendiri. Tak ikut lomba, tak ingin jadi pemenang.Â