Di sepiring bubur, kita tenggelam dalam sejarah.
Pagi hari ini, sarapan bubur seperti memenuhi kewajiban. Terutama kewajiban terhadap tubuh dari kelalaian yang menyebabkannya harus terkapar tepar. Disempurnakan sedikit meriang bercampur pegal-pegal.
Sementara hari di luar sana sedang disandera pancaroba.Â
Maka bubur itu--sebagaimana bubur dari beras--ditanak untuk beberapa saat. Dengan api biru sedang. Kemudian ditaburi sedikit potongan daun bawang dan penambah rasa. Sembari menunggu ia bercampur dan bersatupadu, telur ayam kampung juga direbus sampai mendidih.Â
Semuanya proses penyiapan ini membutuhkan tidak lebih lama dari 30an menit. Tapi jangan lakukan ini di antara aktivitas menonton youtube atau memeriksa status di sosial media. Membuat bubur membutuhkan fokus dan kasih sayang. #EaaÂ
Dan bawalah bubur yang sudah rampung itu kepada piring atau mangkuk. Lalu taburi dengan dua atau tiga sendok abon Cakalang. Kemudian hiruplah aroma yang bersenyawa dari uap beras, potongan daun bawang segar dan abon Cakalang.Â
Lihatlah dengan seksama perpaduan warna kuning telur, coklat abon, hijau segar daun di atas warna putih beras. Lihatlah bagaimana tiga dunia bersatu di sana: dunia nelayan, petani dan peternak.Â
Sadarilah bagaimana bubur dari tiga dunia ini semua menopang hari-harimu yang sedikit berterimakasih, banyak menuntutnya. Hehehe.
Karena itu mungkin perlu pergi sebentar ke sejarah Tiongkok. Demi menemukan asal-usul bubur yang berakar dalam masa krisis pangan. Atau bubur yang menjadi bagian dari ritual keberimanan tertentu. Juga bubur yang disertakan kedalam usaha penyembuhan mereka yang sakit; seperti yang saya lakukan pagi ini.
Bubur juga telah mengalami "glokalisasi". Mengglobal sekaligus terlokalisasi.
Misalnya di Indonesia, ia telah berkembang menjadi bubur ayam yang akrab dengan keseharian jelata. Tidak penting di lorong padat ibu kota atau di kota-kota kabupaten dengan irama harian yang lambat.Â
Entah tersaji di menu restoran mahal atau di gerobak kaki lima. Atau di rumah jelata yang selalu cinta kepada negerinya, sesulit apapun keadaan.
Sedang lokalisasi itu berkaitan dengan jenis-jenis bubur yang telah mengalami modifikasi dengan cita rasa lokal. Â
Di rumah Opa saya, di Ternate misalnya. Tak ada pagi tanpa semangkuk bubur beras. Hanya diberi lauk potongan ikan Cakalang fufu (Cakalang yang diasap). Lantas ada sepiring kecil garam yang dilumuri dengan lemon Cui. Lemon yang rasanya asam sekali dan biasanya dipakai untuk menghilangkan bau amis dari ikan.Â
Sambil menyuap bubur, potongan Cakalang fufu itu dicelupkan ke larutan garam dan susulah bubur itu. Sedap luar biasa! Â Â
Atau jenis bubur yang berkembang menjadi identitas kuliner suatu wilayah etno-kultural. Sebagaimana kenyataan di Manado atau Sulawesi Utara, bubur berkembang menjadi tinutuan. Bubur beras yang kaya akan sayuran.Â
Seorang romo di sekolah Seminari Pineleng pernah cerita kepada saya jika tinutuan adalah penemuan lokal yang memiliki konteks krisis politik.Â
Saat itu sedang terjadi perlawanan Permesta sekitar 1957-58. Pasokan pangan terganggu dan warga di Minahasa harus bertahan dalam masa sulit. Salah satu ide kreatif adalah memasak sedikit beras dicampur sayuran. Dalam bentuk bubur, jumlahnya bisa lebih banyak.Â
Cerita penemuan tinutuan ini mengingatkan penemuan bubur di Tiongkok.Â
Konon di masa  di 2698-2598 SM. Pada zaman kekaisaran Xuanyuan Huangdi, dikenal sebagai Kaisar Kuning (Yellow Emperor). Salah satu yang diagungkan dalam sejarah Tiongkok. Diceritakan masa itu sedang paceklik dan bubur ia temukan untuk memberi makan rakyat banyak. Huangdi juga dikenal sebagai ahli pengobatan. Selain sosok yang disebut menginisasi model negara terpusat dan penggunaan uang koin.Â
Sebenarnya di Manado berkembang juga jenis bubur ayam. Walau menyebut rumah makannya sebagai yang khas Jawa, namun salah satunya yang bertahun-tahun bertahan dijajakan adalah bubur ayam sebagai menu andalan. Sekurangnya sejak tahun 2000an, rumah makan Sri Solo namanya.Â
Sri Solo terletak di jalan Sam Ratulangi, persis berhadapan dengan rumah sakit Pancaran Kasih.Â
Selain itu, di bulan Ramadan. Kamu bisa pergi menikmati bubur ayam di tenda-tenda yang disediakan untuk berbuka puasa. Termasuk pergi ke Jalan Roda yang legendaris itu. Bubur ayam tanpa kacang kedelai adalah menu wajib berbuka umat muslim Manado.Â
Maka dari padanya, menikmati bubur ayam mazhab diaduk atau dipisah bukan pengalaman Manado. Menikmati lembut bubur ayam dengan sambal Roa, nah itu baru!
Demikianlah versi ringkas dari cerita bubur yang telah berkembang melampaui batas-batas teritorial dan kulturalnya. Mengalami glokalisasi lantas menjadi pengikat selera yang melampaui batas-batas kelas ekonomi.
Sekurangnya bubur mungkin boleh membantu memperkuat gaya hidup sehat. Gaya hidup yang seharusnya telah menjadi prasyarat bagi manusia petarung masa pandemi. Dan dimulai dari meja makan.
Satu artikel berjudul di laman Detik Health menyebut 4 manfaat sarapan bubur. Artikel yang sumbernya adalah laman wyldsson.com.Â
Pertama, membuatmu kenyang lebih lama. Saya sarapan sejak jam 7 tadi dan sekarang sudah masuk 12.04 WITA. Rasanya masih kenyang-kenyang saja.Â
Kemudian, jika ditambahi sayur-sayuran juga memberikan asupan antioksidan, sehingga dapat membantu tubuh untuk melawan radikal bebas. Dengan demikian, makan bubur sangat bisa meningkatkan imunitas tubuh. Tinutuan adalah Koentji!
Lantas, dikatakan jika sebuah studi yang diterbitkan oleh American Journal of Clinical Nutrition menyimpulkan bahwa diet hanya dengan makan bubur, sama efektifnya seperti minum obat tekanan darah tinggi.Â
Dan terakhir, ada studi yang dilakukan selama 25 tahun menyebut orang-orang yang makan bubur lebih terlindungi dari penyakit jantung. Sebab, bubur diperkirakan dapat mengalahkan kolesterol tinggi dan mampu menyerap lemak dalam tubuh.
Â
Perkara menyantap bubur dan hidup sehat ini, saya terus ingat pada sebuah cerita humor lawas.
Alkisah seorang kakek sedang sakit dan dirawat di salah satu rumah sakit terbaik. Saban hari ditunggui semua anak-anak beliau. Pada suatu pagi yang sejuk, sang kakek berkata lirih begini.
"Nak, makan. Buurr..."
"Apa yah? Mo makan apa?" tanya anak perempuan satu-satunya. "Semua yang enak-enak sudah kami sediakan, lho. Ayah saja yang ogah."
"Buuur, nak..."
"Apa yah?" Kali ini si lelaki tertua. Wajahnya terlihat cemas. "Apa sih?"Tanya dia pada saudaranya.
 "Buuuuurr.." Suara si kakek mulai meninggi. Tertangkap mulai emosi.Â
"Hah? KUBUR?" Seketika itu juga pecahlah tangis sesenggukan di antara mereka.
"Astagfirullaah, jangan bilang-bilang kubur dulu, yah. Kata dokter, ayah cuma butuh istirahat kok," terang anak perempuannya.
"Bubuur, dongok lu!"
 Ya sudah, tetap hidup sehat. Jangan abaikan hak-hak tubuh sendiri.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H