Sejak Desember kemarin, cuaca di langit yang membentang antara Manado dan kaki gunung Klabat cenderung rapuh. Instabil dan menjengkelkan.
Di pagi hari bisa terang benderang hangat. Lantas seketika mendung tebal, hujan dan bikin berantakan urusan. Terlebih bagi jelata seperti saya yang cuma punya X-Ride. Namun karena hidup dibentuk dari perjumpaan, maka serapuh apapun cuaca, pergerakan harus tetap dilakukan.
Demikian halnya dengan kemarin pagi.Â
Dengan kecepatan sedang, saya meniti ruas jalan Soekarno (dulu dikenal SBY) yang sepi dari kendaraan berat seperti truk jenis konteiner. Kemudian belok kanan, melintasi jalan yang melewati pusat pemantau cuaca BMKG, tangsi militer dan tiba di jalan raya Mapanget; jalan menuju bandara internasional Sam Ratulangi.
Saya sering memilih perjalanan yang pelan. Sebab suka melihat apa yang berbeda di sepanjang rute yang dilalui. Manusia tumbuh, berkembang biak dan bengkak. Sedang alam semesta tidak cukup menampung semua itu.
Jadi di pagi yang masih hangat dan lamban itu, saya berjalan pelan di belakang motor Honda Blade dan Honda matic.Â
Sementara di depan kami, ada dua mobil beriringan. Menunggu kesempatan untuk melambung di jalan yang tak terlalu lebar, berlubang dan penuh kubangan di saat penghujan begini.
Mobil yang berjalan di depan motor matic yang dikendarai seorang cewek mulai melambung. Saya berpikir jika Honda Blade juga melambung maka saya akan mengikutinya. Matic si cewek terlalu pelan.Â
Tapi si Blade enggan melambung. Malah menjadi pelan pula.
Situasi pelan dan enggan ini berlangsung sekitar 300-an meter.Â
Entah dipicu apa, tiba-tiba saja si Blade melaju. Mendekatkan bodinya ke matic, dan memberi kode dengan jemari kiri. Si cewek yang bawa matic seperti terkejut walau tak sampai oleng.Â
Saya yang kepo khas bapack-bapack masih jauh dari 50-an dan tentu saja bukan baby boomers terpaksa ikut-ikutan melaju dong. Ada apa sih?
Ternyata oh ternyata, si matic tidak mematikan lampu sein.Â
Sedari awal kita beriringan tiga motor di sepanjang jalan bukan kenangan, lampu sein kirinya menyala tanpa rasa bersalah. Si Blade yang memberi kode itu boleh jadi sedikit kesal.Â
Kode dengan jemari itu seperti teguran yang bilang, "Kalau memang mau ngajak terus, jangan nyalakan sein kiri. Perjalanan tidak sebermain itu!"
Si Blade kemudian melaju dan tidak menurunkan lagi gasnya. Jelas kesal, merasa dipermainkan.Â
Dari belakang saya yang masih terpapar kepo turut melaju juga. Itu yang bawa Blade, dengan celana selutut, siapa ya? Sejenis dengan saya atau sejenis matic? Â
Kalau sejenis saya, maka tindakan menegur itu tidak menarik. Laki-laki mudah merasa penguasa jalan padahal saya sering kali disalip cewek-cewek bahkan emak-emak yang berangkat kerja di sepanjang jalan Manado ke BitungÂ
Maka saya melajukan juga X-Ride yang lebih nyaman dibawa tanpa perasaan terburu-buru.
Saudaraku sekalian. Kali ini tidak tentang emak-emak yang belok ke kiri, seinnya ke kanan. Kali ini adalah cerita emak-emak Honda Blade yang menegur cewek matic sein kiri tapi entah kapan beloknya.
Kita mungkin memilih membiarkan kesalahan kecil, terlebih jika berulang dan cenderung banal di jalan raya. Seperti penggunaan lampu sein yang selaras antara niat dan tindakan. Walau kita tahu itu berisiko bukan saja bagi pengendaranya.Â
Hingga pagi kemarin seorang emak-emak dengan motor dari teknologi non-automatic telah mengambil perannya. Dia telah menunjukan jika bersikap diam di belakang lampu sein yang nyala kiri tapi terus melaju hanya akan mengombang-ambingkan Anda di dalam percampuran penasaran dan kesal. Ini manusia kapan insyafnya sih? Eh. Â
Pagi yang indah sekaliii. Membawa hati bernyanyiii.
Walau korona tak pergi dan tak ada burung kenariii..Hmm,ya..
Selamat Pagi, Jelata!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H