Ada banyak sekali manusia Indonesia yang hari ini, 29 Desember 2021, bukan saja telah mengabaikan rutinitas pentingnya. Termasuk mengabaikan permintaan orang-orang terkasih sebab ini adalah #TimnasDay.Â
Tak lain dan tak salah lagi demi menyalakan api cinta kepada tim nasional. Demi menegaskan #SelamanyaGaruda. Bahu membahu menebarkan optimisme dan doa-doa.Â
Semoga saja riwayat gagal maning-gagal maning selama ketemu Thailand sejak zaman Kiatisuk Senamuang masih bermain sampai jadi pelatih, nasib Garuda yang (tetap saja) medioker haqiqi boleh berhenti.Â
Saya, misalnya. Yang sejak Luis Milla batal dikontrak memilih tidak menyaksikan timnas dalam judul apapun.Â
Kalaupun terpaksa menyaksikan (dari pada mesti nonton sinetron, ye kan?!) nontonlah dengan jiwa yang kosong. Kosongkan segala yang membuatmu hanya terlukaa, Kaka.Â
Termasuk juga dalam turnamen rutin demi menentukan siapa yang berkuasa di sepak bola Asia Tenggara. Yang gara=gara pandemi covid-19 harus tertunda setahun.Â
Sejak perhelatan ajang yang telah berlangsung sejak 1996 ini dimulai, jangankan mengomentari aneka judul piala AFF 2020 yang wara wiri seperti antrian ke puncak kala akhir pekan di halaman muka Kompasiana.Â
Saya bahkan memilih tidak ikut menulis artikel, mengulas macam-macam sudut pandang, hingga menunjukan rahasia tim ini bisa menang dan berharap pelatih lawan gak tahu, dan pada akhirnya tiba pada jawaban yang sejak awal sudah tersedia bagi mereka yang kalah: Tim ini masih punya masa depan, mereka juga rata-rata berusia muda, jangan dibubarkan!
Tahan dirimu! Nanti juga kecewa. Iya kan, iya kan, iya kaan?Â
Tentu saja mereka tahu berharap kepada "keajaiban" tidak lebih dari pada mekanisme melarikan diri dari kutukan kenyataan. Tapi, kalau kamu dan aku tinggal punya itu, lantas mau bagaimana lagi PSSI?
Celakanya saya tergolong yang masih saja kemakan bahwa akan ada keajaiban itu.Â
Sekalipun seorang ibu yang berani menenggelamkan kapal pencuri ikan tanpa mesti berpendidikan tinggi bernama Susi Pudjiastuti turut membuat cuitan yang penuh harap dan doa agar tim nasional edisi pandemi ini boleh juara. Saya mestinya tetap hati-hati dengan "akan ada keajaiban!"
Padahal gelagatnya telah telanjang menampakan dirinya. Ketika Asnawi, dkk dibikin Vietnam cuma bermain demi tak kalah, demi hasil imbang, saya mestinya curiga tidakkah kapasitas tim ini sudah mentok?Â
Terlebih lagi ketika menyaksikan bagaimana Thailand yang begitu komplit-perfecto alias solid, taktis, percaya diri, stabil, modern dan tetap yakin bahwa semua akan baik-baik saja jika kita memang telah menyiapkan segalanya begitu kokoh meredam Vietnam.Â
Bukan saja mati gaya, pasukan dari tanah air mbah Ho Chi Minh ini dibikin bertarung dengan dirinya sendiri. Persis komunisme yang rontok di zaman Mikhail Gorbachev , wekekek.
Setidaknya, saya seyogyanya membuang pengharapan yang aneh-aneh ketika tak sengaja melihat bung Ropan dan om Weshly Hutagalung di sebuah stasiun televisi swasta bilang, kira-kira begini,"Kalau main demi tak kalah saja, kita gak akan kemana-mana."
Tidak boleh percaya dalam waktu yang singkat, dengan kompetisi yang morat-marit, seorang juru taktik yang pernah bikin malu raksasa turnamen sekelas Jerman di piala dunia 2018 boleh menghadirkan sihir yang sama.Â
Tapi bukankah cara mereka menghentikan Malaysia dan Singapura begitu penuh dengan pengorbanan?
Tentu saja pengorbanan tak kenal syarat para pemain demi nama baik negeri dan kebahagiaan pecinta tim nasional adalah kerja keras yang tak bisa dinilai dengan apapun. Tapi kita tetap harus realistis dan menginjak bumi, boy.
Dua nama yang disebut sebelumnya telah berkembang hingga mencapai satu atau dua level di atas kita. Di atas musuh bebuyutan lahir batin kita: Malaysia, dan di atas negeri kecil yang konon level kemajuannya sudah lama di depan kita: Singapura.
Bersama Malaysia dan Singapura atau Filipina, kita adalah sepantaran yang berada di dalam satu kelas.
Sengitnya persaingan di antara kita, ya karena kualitas yang sejajar itu. Sebab itu peluang dikalahkan atau mengalahkan selalu fifti-fifti. Sebab itu juga dramanya selalu sama.
Lantas, jika demikian, tidakkah mengalahkan Thailand atau Vietnam, apalagi di partai pamungkas-penentu-siapa-yang-jadi-juaranya, adalah drama heroik yang rasanya lebih menggelora ketimbang "sekadar" peluang fifti-fifti?
Tentu saja. Tentu kita selalu harus memberikan penghormatan tertinggi bagi anak-anak muda yang berjibaku menjaga kehormatan negerinya di lapangan bola. Tentu saja semua jenis pengorbanan diri bagi kebahagiaan manusia di seluruh Indonesia harus selalu dihormati.Â
Tapi...dengan segala macam gonta-ganti juru taktik hingga pengurus PSSI bahkan presiden dan anggota parlemen..
Sepak bola kita berdasarkan faktualitas historisnya, melihat sta-titik perjumpaan sepanjang riwayat turnamen ini kita cuma bisa mengalahkan Thailand lewat penalti. itu juga demi perebutan tempat ketiga.Â
Jadi, yang bikin saya dan rasanya kamu juga, kenapa usaha meng-keok-kan Thailand lama-lama kok serupa utopia (?)
Dalam riwayat piala AFF, seolah saja tak ada efeknya kita pernah punya timnas Garuda yang anggotanya dimagangkan di kompetisi Primavera Italia. Lantas dilanjutkan proyek Baretti.Â
Lalu ada lagi yang dikirim ke Amerika Latin. Ada harapan mereka ini bisa mengalami pencangkokan cara bermain lantas tumbuh sebagai tunas nasional yang menguasai Asia Tenggara.Â
Termasuk pelatihnya, entah jenis impor atau produk nasional.Â
Gonta-ganti dari Kurniawan Dwi Yulianto masih segar hingga pensiun sampai prediksinya soal final leg pertama barusan meleset, satu-satunya fakta yang bertahan adalah di depan kaki Gajah Putih, hanya mengalami mati kutu dan jalan buntu.Â
KITA TETAP SAJA KALAH TELAK 4:0, GAEESS!!
Garuda kita tetap saja kalah solid, kalah kolektif, kalah taktis, kalah mentalitas. Kalah dalam organisasi bermain, kalah dalam skil individual. Kalah dalam segala hal yang menjadi syarat mengapa sebuah tim bisa menang dan mengapa sebuah tim tidak akan pernah kemana-mana.
Thailand masih seperti tim dari dunia para dewa yang terpaksa bermain dengan manusia karena kesalahan teritorial. Sedang tim nasinal Garuda kita tercinta tak pernah pergi dari takdir Sisifus yang malang.Â
Tapi kita tetap harus cinta. Dan karena itu harus selalu ikhlas menderita. Tak peduli entah sampai kapan.Â
Kita tetap harus semangat menghadapi takdir kesia-siaan ini. Kita jangan sampai lupa bahwa penderitaan hari ini karena sepak bola yang medioker di Asia Tenggara bukanlah sesuatu yang harus kita besar-besarkan.Â
Ke-waduh-waduh-an kita yang melihat timnas tak berdaya janganlah membuat kita kapok.Â
Sadarilah bahwa kita tidak pernah tahu caranya menendang bola dengan benar. Kita tak pernah tahu apa saja yang sudah dilakukan pengurus PSSI yang budiman.Â
Dan, yang tak boleh diabaikan adalah dalam penderitaan yang panjang ini kita telah bersama-sama dengan Raisa.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H