Sengitnya persaingan di antara kita, ya karena kualitas yang sejajar itu. Sebab itu peluang dikalahkan atau mengalahkan selalu fifti-fifti. Sebab itu juga dramanya selalu sama.
Lantas, jika demikian, tidakkah mengalahkan Thailand atau Vietnam, apalagi di partai pamungkas-penentu-siapa-yang-jadi-juaranya, adalah drama heroik yang rasanya lebih menggelora ketimbang "sekadar" peluang fifti-fifti?
Tentu saja. Tentu kita selalu harus memberikan penghormatan tertinggi bagi anak-anak muda yang berjibaku menjaga kehormatan negerinya di lapangan bola. Tentu saja semua jenis pengorbanan diri bagi kebahagiaan manusia di seluruh Indonesia harus selalu dihormati.Â
Tapi...dengan segala macam gonta-ganti juru taktik hingga pengurus PSSI bahkan presiden dan anggota parlemen..
Sepak bola kita berdasarkan faktualitas historisnya, melihat sta-titik perjumpaan sepanjang riwayat turnamen ini kita cuma bisa mengalahkan Thailand lewat penalti. itu juga demi perebutan tempat ketiga.Â
Jadi, yang bikin saya dan rasanya kamu juga, kenapa usaha meng-keok-kan Thailand lama-lama kok serupa utopia (?)
Dalam riwayat piala AFF, seolah saja tak ada efeknya kita pernah punya timnas Garuda yang anggotanya dimagangkan di kompetisi Primavera Italia. Lantas dilanjutkan proyek Baretti.Â
Lalu ada lagi yang dikirim ke Amerika Latin. Ada harapan mereka ini bisa mengalami pencangkokan cara bermain lantas tumbuh sebagai tunas nasional yang menguasai Asia Tenggara.Â
Termasuk pelatihnya, entah jenis impor atau produk nasional.Â
Gonta-ganti dari Kurniawan Dwi Yulianto masih segar hingga pensiun sampai prediksinya soal final leg pertama barusan meleset, satu-satunya fakta yang bertahan adalah di depan kaki Gajah Putih, hanya mengalami mati kutu dan jalan buntu.Â
KITA TETAP SAJA KALAH TELAK 4:0, GAEESS!!