Segala hal yang dikonsepkan sebagai produktif-efektif-efisien-kompetitif bukan jenis ambisi manusia modern yang tidak menuntut tumbal. Kontrol digital yang serba meliputi ternyata menghajar sisi paling rapuh dari manusia dan meletakannya sebagai puing-puing: kehadiran fisik dan intimitas hubungan.Â
Dengan kata lain, di hadapan sains dan teknologi temuannya, manusia mengalami kejatuhan yang kesekian kali.Â
Semacam kutukan tak ada ujung dari "Dialektika Pencerahan". Cita-cita yang diperjuangkan Sapiens sebagai instrumen bagi emansipasi pada mulanya, lantas berbalik menjadi kerangkeng besi manusia. Pertikaian sepanjang hayat dikandung badan antara "Rasio Vs. Mitos", pembebasan terhadap penindasan.
Theodore, Samantha atau Her mungkin cuma film. Tapi apa yang dicemaskan ibu Sri Mulyani bisa lebih serius dari sekadar generasi yang gagal adaptasi fintech. Bisa lebih suram dari imajinasi Spike Jonze, si kreator Her.
Sebab, kita tahu, kesepian (digital) yang mendera tidak cukup diselesaikan dengan rupa-rupa pengkondisian atau "rekayasa sosial". Dengan bermacam-macam judul atau tema edukasi/literasi, misalnya.Â
Atau berupa-rupa tawaran insentif ekonomi dan sosial yang merangsang percepatan migrasi generasi kedalam tangan dingin digitalisme.
Bukan saja karena kesepian atau kehampaan tidak memiliki statistik yang boleh menakar sedalam apa dia bekerja. Usaha kuantifikasi terhadapnya seringkali menangkap gejala di permukaan.Â
Karena itu, kita mungkin mengenali simtomnya saja lantas dengan gegabah menjuduli sebagai "contoh orang-orang yang kalah."
Konseptualisasi kehampaan sosial yang dahulu disebut "anomie" atau "alienasi' tidak lahir dari kasus-kasus individual. Keberadaannya diciptakan oleh transformasi besar-besaran masyarakat. Semacam gerak memporak-porandakan tatanan lama yang usang dan menyongsong tatanan baru yang penuh turbulensi dan ketakpastian.Â
George Ritzer dalam Globalization of Nothing (2006) mengatakan kehampaan berkaitan dengan empat hal manakala kita berinteraksi, atau melakukan aktivitas konsumsi melaluinya. Â
Yakni interaksi bukan tempat (non-places), bukan benda (non-things), bukan pelayanan (non-services) dan bukan orang (non-human). Jika masuk di dalamnya, maka kita akan bergabung dalam dunia sosial yang disusun, dikontrol, dan tak memiliki substansi (maknawi) yang berbeda dan kaya.