Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

2045: Perayaan 100 Tahun Kesepian Kita?

13 Desember 2021   09:46 Diperbarui: 16 Desember 2021   14:45 1109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kesepian, kesendirian. (sumber: pixabay.com/Leni und Tom)

Adalah ibu menteri kita yang gagah perkasa. Ibu Sri Mulyani. Dalam diskusi daring pada Indonesia Fintech Summit 2021 menyampaikan kecemasannya. 

"Saya khawatir 2045 banyak orang kesepian. Mereka tidak bisa masuk ke dunia 3 dimention virtual world, lalu left out (meninggalkan) realita dunia, dan kemudian dia tidak bisa engage (berhubungan)." Sebagaimana dikutip dari laman Media Indonesia.

Situasi ini ditopang oleh status demografi, mobilitas angkatan produktif dan kehidupan urban serta teknologi digitalisme. Dari laman CNBC Indonesia, dikatakan: 

Pada 2045 diperkirakan mencapai 300 juta orang dengan mayoritas kelompok muda yang di bawah 40 tahun. Mereka adalah kelompok produktif dengan mobilitas tinggi karena tinggal di daerah urban. Aktivitas kelompok ini akan dipengaruhi oleh peranan digital teknologi, baik pendidikan, kesehatan maupun sektor keuangan.

Saya terus terkenang Theodore Twombly dalan kisah "Her". Kamu mungkin perlu sejenak singgah di Cerita "Her", Digitalisme dan Intimitas Suram Manusia sebelum melanjutkan.

Theodore tipikal lelaki serius-pakai-kacamata-berbadan kurus dengan mobilitas kerja yang tinggi. Hidup dalam hunian urban serba canggih. Dan menderita kesepian yang gigih. 

Ironisnya Theodore bukan golongan mereka yang tercerabut dari digitalisme; dia adalah pengguna yang aktif. Lebih parah lagi, sehari-harinya adalah pekerja yang membantu menjaga hubungan-hubungan sosial tetap penuh makna.

Theodore yang menderita kehampaan digital "terpaksa" jatuh cinta pada Samantha. Perempuan yang dilahirkan kecerdasan virtual dan berfungsi sebagai asisten sehari-harinya. Samantha bukan saja cakap dalam perkara membereskan rutinitas teknis Theodore. Samantha yang berkembang-dalam-pengalaman juga pandai melakukan "intervensi psikis". 

Samantha mampu menciptakan kenyamanan yang redup dari hidup Theodore. Pendek kata, melalui kehadiran Samantha, yang rutin dan yang intim bersatupadu. 

Kamu boleh curiga kalau Samantha adalah metafor dari lubang hitam di krisis manusia yang hidup pada birokrasi digital yang total. 

Segala hal yang dikonsepkan sebagai produktif-efektif-efisien-kompetitif bukan jenis ambisi manusia modern yang tidak menuntut tumbal. Kontrol digital yang serba meliputi ternyata menghajar sisi paling rapuh dari manusia dan meletakannya sebagai puing-puing: kehadiran fisik dan intimitas hubungan. 

Dengan kata lain, di hadapan sains dan teknologi temuannya, manusia mengalami kejatuhan yang kesekian kali. 

Semacam kutukan tak ada ujung dari "Dialektika Pencerahan". Cita-cita yang diperjuangkan Sapiens sebagai instrumen bagi emansipasi pada mulanya, lantas berbalik menjadi kerangkeng besi manusia. Pertikaian sepanjang hayat dikandung badan antara "Rasio Vs. Mitos", pembebasan terhadap penindasan.

Theodore, Samantha atau Her mungkin cuma film. Tapi apa yang dicemaskan ibu Sri Mulyani bisa lebih serius dari sekadar generasi yang gagal adaptasi fintech. Bisa lebih suram dari imajinasi Spike Jonze, si kreator Her.

Sebab, kita tahu, kesepian (digital) yang mendera tidak cukup diselesaikan dengan rupa-rupa pengkondisian atau "rekayasa sosial". Dengan bermacam-macam judul atau tema edukasi/literasi, misalnya. 

Atau berupa-rupa tawaran insentif ekonomi dan sosial yang merangsang percepatan migrasi generasi kedalam tangan dingin digitalisme.

Bukan saja karena kesepian atau kehampaan tidak memiliki statistik yang boleh menakar sedalam apa dia bekerja. Usaha kuantifikasi terhadapnya seringkali menangkap gejala di permukaan. 

Manusia Digital | digileaders.com
Manusia Digital | digileaders.com

Karena itu, kita mungkin mengenali simtomnya saja lantas dengan gegabah menjuduli sebagai "contoh orang-orang yang kalah."

Konseptualisasi kehampaan sosial yang dahulu disebut "anomie" atau "alienasi' tidak lahir dari kasus-kasus individual. Keberadaannya diciptakan oleh transformasi besar-besaran masyarakat. Semacam gerak memporak-porandakan tatanan lama yang usang dan menyongsong tatanan baru yang penuh turbulensi dan ketakpastian. 

George Ritzer dalam Globalization of Nothing (2006) mengatakan kehampaan berkaitan dengan empat hal manakala kita berinteraksi, atau melakukan aktivitas konsumsi melaluinya.  

Yakni interaksi bukan tempat (non-places), bukan benda (non-things), bukan pelayanan (non-services) dan bukan orang (non-human). Jika masuk di dalamnya, maka kita akan bergabung dalam dunia sosial yang disusun, dikontrol, dan tak memiliki substansi (maknawi) yang berbeda dan kaya.

Tidakkah  "Empat-Non"  yang ditenggarai Ritzer di atas adalah telah tampak dalam interaksi sosial media? Khususnya dalam interaksi antara pengguna dan pemilik layanan jasa tertentu. 

Misalkan, ketika kita mengeluhkan layanan jasa tertentu di sosial media, kita tidak sedang berada di kantornya, tidak berbicara langsung dengan petugasnya, dan kita sejatinya tidak sedang dilayani (selain kata-kata kalau ada keluhan, silahkan disampaikan lewat DM)? 

Kasus di atas memang bukan contoh yang tepat. Setidaknya, satu aspek penting yang hilang di sana adalah ketiadaan manusia nyata dan langsung selain pengantaraan teknologi. Tentu saja klaim efisiensi bisa dikenakan (karena teritori yang luas dan sebaran pengguna dimana-mana). Tetapi, bagaimana dengan efektifitasnya?

Lantas, pertanyaan lanjutannya bagaimana "derajat kehampaannya" yang diproduksi layanan tiga dimensi dalam dunia virtual yang lebih kompleks dengan impersonalitas yang makin ekstrim?

Tidak ada jawaban yang menyeluruh. Apalagi tunggal. Satu-satunya yang telah terbukti sepanjang sejarah adalah bahwa Sapiens akan selalu lahir, berkembang, tumbang, musnah dan begitu seterusnya, selamanya. 

Bahkan ketika manusia tinggal sebuah akun yang hilir mudik di dalam transaksi dunia virtual. Memenuhi impiannya akan produktivitas setiap saat sekaligus melayani hasratnya akan kesenangan yang tanpa batas.

Mungkin institusi pengangkut dan pewarisan nilai seperti agama-agama akan lebih mengeras di hadapan kehampaan. Mungkin akan berkembang bentuk-bentuk baru dari spiritualitas yang melampaui sekat-sekat formil beragama. Filsafat akan lebih stres, psikologi mungkin lebih suram dan sosiologi sibuk menemukan kembali kecemasan Durkheim, Weber dan Marx.  

Sementara itu, dimana negara?

Negara sudah memperingatkan kamu dan saya. Bahwa kesepian tengah menunggu kita di masa depan. 

Harga yang harus kita ambil dengan sengaja ketika semua terintegrasi ke dalam jagad virtual; teknologi yang mengompres ruang, waktu dan "mengondisikan anarki". Ia memiliki watak ganda yang menuntut kehati-hatian tingkat tinggi.

Sesekali ia memfasilitasi menguatnya solidaritas sosial dan keguyuban warga. Di lain waktu, ia menjadi teknologi yang mengantrai masifikasi kabar bohong dan kebencian. Ia hidup dari pergulatan "politik kebersamaan" dan "politik pecah-belah" sehari-hari. 

Pada saat bersamaan dunia sehari-hari, mengalami hidup yang dikorupsi kekuasaan; mengalami pendidikan yang penuh pelecehan dan kekerasan; mengalami keseharian yang keras dan saling memakan. Hidup kewargaan berkali-kali kehilangan teladan. 

Pendek kata, di balik semua yang gaduh dan rapuh, (bukan tak mungkin) gurita kehampaan memaksa banyak orang melarikan diri kedalam anonimitas. Lantas berseteru tak henti-henti di balik akun sosial media. Menimbun kemunafikan yang telah menjadi modus operandi bersama lintas golongan.

Semoga tahun 2045 bukanlah proklamasi bagi perayaan 100 tahun kesepian kita. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun