Ada yang menyiapkan peralatan musik yang dibawa dari Manado. Ada yang menjadi Master of Ceremony (MC) di balik mikrofon yang tersambung ke pengeras suara. Memanggil warga sekitar lapangan agar datang membeli karcis dan melihat pertunjukan yang mungkin pertama dan satu-satunya terjadi dalam hidup mereka.
Saya berfungsi sebagai pengarah. Maksudnya, mengatur teman-teman agar ada yang berdiri di belakang masing-masing gawang. Setiap yang berdiri di sini harus selalu memukulkan sendok ke badan botol sebagai penanda obyek serangan.
Dengan begitu, dengan mendengar, masing-masing tim yang berjibaku bisa meraba kemana mengarahkan bola. Hebat, bukan?!
Yang kedua, saya membantu salah satu tim untuk mengatur formasinya.Di mana seharus seorang back berdiri, jaraknya dengan midfielder sejauh apa dan posisi seorang striker. Agar seluruh area ter-cover.
Tim saya menggunakan formasi 3-5-2. Tiga tahun sebelum Conte menggunakan formasi yang sama dan menandai kebangkitan Juventus!
Tak lama kemudian, wasit meniup peluit. Priiiiit! Oh ya, di dalam bola dipasang lonceng kecil yang berbunyi kala ditendang. Krincing, krincing.
Sepanjang pertandingan ada banyak sekali tawa yang pecah. Misalnya ketika pasukan kedua tim berjibaku mati-matian menendang bola. Penuh kesungguhan. Sementara bola sudah berpindah ke sisi lain lapangan.
Sore itu, dengan angin yang lumayan kencang berhembus membuat bunyi lonceng sulit dikenali posisinya.Yang terjadi bukan bola yang disepak. Tapi tulang kering versus sepatu, tulang kering versus tulang kering dan teriakan aduh.
Tak ada yang mundur. Laga masih jauh dari selesai.
Keriuhan kedua adalah karena bunyi pukulan sendok ke botol di belakang gawang justru menimbulkan kebingungan. Bukan karena desau angin yang menyamarkan bunyi namun bunyi yang dikirim dari masing-masing gawang sama jenisnya. Sama dari pukulan sendok ke botol.
Pemain dari kedua tim yang saling serang mendadak terdiam. Suasananya seperti adegan laga yang tiba-tiba di-pause. Mengapa berhenti? Tanya wasitnya. Penonton penasaran, dong.