Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan - | brontoaji19@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bersama Melampaui Sepak Bola: Cerita Kawan-kawan Tunanetra di Manado

8 Desember 2021   11:23 Diperbarui: 8 Desember 2021   12:49 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para Tunanetra menerima Bantuan Sosial pandemi Covid-19 program #MagerWithDCODE Kumparan & Patner 1001 Media di Manado (febry kodongan/manadobacirita)

Saya menulis ini dengan rasa hormat, kagum dan tentu juga kangen.

Sesudah tahun-tahun yang tidak banyak berguna di dalam kampus. Saya belajar melibatkan diri pada sesuatu yang lebih besar dari yang disebut "realitas sekolahan". Namun bukan dalam pemenuhan citra diri yang muluk-muluk. Semisal aktivisme politik urban, pembelaan pada kaum miskin kota, dkk, dll.

Semata-mata karena mengalami Manado bukanlah Boulevard, Bubur, atau Bunaken.

Sesuatu itu adalah belajar memahami kenyataan dari cara pandang, perjuangan dan kegigihan kawan-kawan tunanetra di Manado. Mereka kebetulan tergabung dalam organisasi Persatuan Tunanetra Indonesia (PERTUNI) Sulawesi Utara.

Ada banyak nama, tentu saja. Beberapa bahkan sudah wafat. Tiga di antaranya yang akrab dengan saya adalah Stenly, Bobi dan Azis. 

Stenly sudah lama wafat. Sedangkan Bobi dan Azis mengelola panti pijat tunanetra yang terletak sekitar kawasan Mahakeret Barat. Kabar terakhir, beritanya baca di sini, mereka menerima bantuan sosial di masa pandemi. 

Bantuan ini merupakan bagian program #MagerWithDCODE. Hasil kerjasama Kumparan dan partner 1001 media yang diorganisir Manadobacirita.  

Masih banyak kawan-kawan tunanetra memilih bertahan melewati keseharian di Manado. Hidup sehari-hari pada kota pesisir kecil yang dalam dua dekade berkembang sangat pesat. Khususnya sebagai salah satu satelit jasa, perdagangan dan pariwisata di kawasan Indonesia Timur. Perkembangan yang aksesibilitasnya masih rendah bagi kawan-kawan penyandang disabilitas.

Sesungguhnya ada banyak sekali kisah yang seru. Salah satu momen paling dramatis adalah ketika politik penataan kota hanya memilih opsi menertibkan dengan menggusur. Represifitas menjadi pilihan utamanya.

Puncak dari penggusuran, perlawanan pedagang dan ketegangan yang menyertainya terjadi di bilangan Agustus tahun 2006. Kala pemerintahan kota Manado dipimpin duet Jimmy Rimba Rogi dan Abdi Buchari sebelum terseret kasus korupsi.

Penggusuran tersebut tak hanya menyasar jejaring informalitas seperti pedagang Kaki Lima kuliner, pedagang Cakar Bongkar/Cabo (pakaian bekas impor), pedagang asongan; jejaring yang menggerakan ekonomi di sepanjang pesisir Teluk Manado hingga ke pusat kota (Taman Kesatuan Bangsa/Pasar 45).

Langit Mando yang kini disesaki gedung tinggi | dok. pribadi.
Langit Mando yang kini disesaki gedung tinggi | dok. pribadi.

Kawan-kawan tunanetra juga harus menanggung dampak. Sesudah hidup dalam binaan panti, ada banyak dari mereka yang menjaga ekonomi rumah tangganya dari berjualan kacang goreng, keripik pisang hingga tisu di pinggiran jalan, gang dan dari rumah makan ke rumah makan.

Mereka sejatinya adalah informalitas yang paling rapuh. Tapi mereka tak diam, terlebih pasrah. Mereka terlibat menuntut keadilan dalam akses ekonomi yang setara terhadap ruang Manado yang perkembangannya makin "kapitalisitik".

Apa yang disebut sebagai pusat jasa dan perdagangan dalam visi misi kekuasaan paska-otoritarianisme tak lebih dari model pembangunan kota yang monolitik. Yang dominasi hingga imajinasinya digerakan oleh modal besar. Seperti di kotamu, bukan?

Penggal sejarah yang menceritakan bagaimana kawan-kawan tunanetra memilih terlibat aktif memperjuangkan pemenuhan hak-hak atas ruang urban yang layak bukan porsi utama yang akan saya ceritakan di sini.

Saya sekadar ingin menceritakan kisah lainnya. Kisah yang menggambarkan usaha bersama dalam melampaui keterbatasan. Sayang sekali, cerita ini hanya bersumber pada ingatan. Tak ada dokumentasi.

***

Melampaui Sepak Bola Biasa!
Pada satu ketika, pengurus Pertuni Sulut memasuki masa demisioner. Harus segera dilaksanakan musyawarah pergantian kepengurusan. Jamaknya musyawarah, mereka membutuhkan dana untuk membiayai semua prosesnya.

Dengan segala keterbatasan, mereka berusaha menghimpun dana. Salah satunya yang menarik dan disepakati adalah menyelenggarakan pertandingan sepak bola antar tunanetra.

Saya pada mulanya tidak setuju. Saya tahu peristiwa seperti ini hanya akan menjadi "komedi tragis" bagi penonton. Saya tidak tega. Bukan tak sedikit yang bakal menuding kami mengeksploitasi kawan-kawan difabel.

Tapi Stenly, salah satu anak muda, cerdas dan vokal menolak kekhawatiran saya. Mereka kompak memilih maju terus. "Justru karena komedi itu, banyak orang akan datang membeli karcis. Kita bisa mengumpulkan banyak dana."

Benar juga, tapi..

"Lagi pula ini bukan yang pertama kali kan, Ji," terangnya meyakinkan. Sebelumnya kegiatan sejenis memang pernah di lakukan di lapangan sepak bola yang bersebelahan dengan kantor lama DPRD Propinsi Sulawesi Utara.

"Kali ini torang bekeng di Amurang."

 Jarak Manado-Amurang berkisar 66,7 kilometer. Dengan waktu tempuh sekitar 2 jam perjalanan normal. Amurang merupakan ibukota kabupaten Minahasa Selatan.

Maka pada hari Minggu yang cerah dan bersemangat, dengan sebuah truk, kami berangkat ke Amurang. Sepanjang perjalanan, ada peristiwa yang selalu membuat saya takjub hingga menulis ini.

Dalam perjalanan itu, salah seorang kawan tunanetra menjelaskan tempat-tempat yang kami lewati. "Skarang so lewat Kalasey kang, Ji." Sekarang sudah lewat Kalasey, kan.

Kalau tak salah ingat, yang menjelaskan tempat-tempat yang dilewati adalah om Herman Sondakh. Bagaimana cara om Herman menandai lokasi tertentu tanpa melihatnya?

Saya bahkan tergolong mahluk yang payah dalam menandai ruang agar tak tersesat. Om Herman jelas bukan satus-satunya yang memiliki keahlian ini di antara kawan-kawan tunanetra.

Beliau mungkin tak bisa melihat sesudah melewati masa kecil dan sering melewati daerah ini. Yang jelas, ingatannya begitu kuat.

Sesampainya di Amurang, mereka yang bermain mulai memisahkan diri ke dalam dua kesebelasan. Selebihnya mulai membagi peran.

Ada yang menyiapkan peralatan musik yang dibawa dari Manado. Ada yang menjadi Master of Ceremony (MC) di balik mikrofon yang tersambung ke pengeras suara. Memanggil warga sekitar lapangan agar datang membeli karcis dan melihat pertunjukan yang mungkin pertama dan satu-satunya terjadi dalam hidup mereka.

Saya berfungsi sebagai pengarah. Maksudnya, mengatur teman-teman agar ada yang berdiri di belakang masing-masing gawang. Setiap yang berdiri di sini harus selalu memukulkan sendok ke badan botol sebagai penanda obyek serangan.

Dengan begitu, dengan mendengar, masing-masing tim yang berjibaku bisa meraba kemana mengarahkan bola. Hebat, bukan?!

Yang kedua, saya membantu salah satu tim untuk mengatur formasinya.Di mana seharus seorang back berdiri, jaraknya dengan midfielder sejauh apa dan posisi seorang striker. Agar seluruh area ter-cover.

Tim saya menggunakan formasi 3-5-2. Tiga tahun sebelum Conte menggunakan formasi yang sama dan menandai kebangkitan Juventus!

Tak lama kemudian, wasit meniup peluit. Priiiiit! Oh ya, di dalam bola dipasang lonceng kecil yang berbunyi kala ditendang. Krincing, krincing.

Sepanjang pertandingan ada banyak sekali tawa yang pecah. Misalnya ketika pasukan kedua tim berjibaku mati-matian menendang bola. Penuh kesungguhan. Sementara bola sudah berpindah ke sisi lain lapangan.

Sore itu, dengan angin yang lumayan kencang berhembus membuat bunyi lonceng sulit dikenali posisinya.Yang terjadi bukan bola yang disepak. Tapi tulang kering versus sepatu, tulang kering versus tulang kering dan teriakan aduh.

Tak ada yang mundur. Laga masih jauh dari selesai.

Keriuhan kedua adalah karena bunyi pukulan sendok ke botol di belakang gawang justru menimbulkan kebingungan. Bukan karena desau angin yang menyamarkan bunyi namun bunyi yang dikirim dari masing-masing gawang sama jenisnya. Sama dari pukulan sendok ke botol.

Pemain dari kedua tim yang saling serang mendadak terdiam. Suasananya seperti adegan laga yang tiba-tiba di-pause. Mengapa berhenti? Tanya wasitnya. Penonton penasaran, dong.

"Bunyinya sama."

Asal-usul bunyi diganti, pertandingan dilanjutkan lagi. Suasana kembali penuh sorak sorai. Semua orang bergembira. Ketika jeda antara babak, mereka yang terlatih vocal group gantian menghibur penonton.

Pertandingan akhirnya selesai. Penonton bubar. Kami balik ke Manado.

Saya tak tahu berapa duit berhasil terkumpul dari sore yang riuh itu. Sepanjang perjalanan dengan truk, saya dan kawan-kawan diliputi kegembiraan kecil.

Bukan apa-apa. Membantu keinginan mereka mengumpulkan dana musyawarah organisasi dengan bersama-sama mengatasi keterbatasan adalah  kebanggaan tersendiri.

Mereka mengajarkan satu pengalaman penting. Mengatasi keterbatasan dengan kebersamaan yang gigih bukan semata alasan menolak menyebar proposal permohonan dana terlalu banyak.

Mereka paham benar, tercerai berai dalam kesendirian adalah malapetaka. Terlebih di hadapan kekuasaan yang masih mengabaikan perlindungan dan pemenuhan hak kawan-kawan penyandang disabilitas.

Kekuasaan dari mereka yang normal, angkuh dan lupa diri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Jalan Braga Bandung, Ketika Bebas Kendaraan!

7 bulan yang lalu
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun