Tono mendadak menemukan sekutu opini.Â
"Tapi, setidaknya Bond sedikit jujur, walau bukan yang paling baik. Teror terhadap dunia Barat memiliki jejaknya dalam ambisi narsistik mereka mengendalikan dunia. Perlawanan wilayah pinggiran sebagai kawasan penopang hanyalah penolakan-penolakan yang enggan diakui mereka.
Bahkan hendak dibereskan dengan pagelaran kekerasan baru. Sejujurnya, yang begini ini sakit jiwa, sih."
Sadis juga si Tono, batin Dkils. "Bisa jadi," Andi tak menduga penglihatan seperti ini.
"Bagaimana dengan Rami Malek atau siapa sih namanya. Lucifer, bukan?" Dkils mengajukan tanya lagi. Dia mengubah strategi. Bukan lagi perumus mula-mula sebuah tesis. Â
"Jenis penjahat yang gagal, menurutku," tegas Andi,"dia lebih pantas dilihat sebagai penjahat dengan masa anak-anak yang sakit-sakitkan ketimbang tubuh penuh dengan dendam yang memiliki gagasan gila terhadap kontrol populasi manusia."
"Tapi, mengapa drama agen khusus intelijen dan konspirasi teror gaya Hollywood mesti menyeret-nyeret keberadaan keluarga yang berantakan? Kalian tahu kenapa?" ganti Yanto yang mengambilalih strategi Dkils.
"Sebab.....,"
"Dan itu jarang terjadi dalam film Mandarin." Tono menimpali.Â
"Sebab menurut Deadpool, film superhero yang berhasil adalah cerita drama keluarga yang melodramatik." Tutup Yanto sambil terbahak-bahak.
"Bahkan untuk yang satu inipun, No Time to Die adalah kualifikasi yang gagal. Menurutku." Terang Dkils.