Satu tamparan keras tiba di kepala Tono. Kekerasan kecil dipilih sebagai dramatisasi situasi demi menjaga ketegangan cerita, eh, maksudnya demi mengembalikan fokus. "Tonoooo!"
Dkils tak peduli, seperti biasa, seperti kemarin. Sembari menggulung-gulung upilnya menjadi bulatan-bulatan kecil coklat kehijauan, dia memainkan asap dari kretek bekas semalam.Â
Kabut putih dan harum cengkeh menembus udara. Memelihara kesan rumit, kalau bukan mistis, dari caranya memahami dirinya sendiri.
"Aku punya pendapat," ujar Tono, "tapi...dengarkan dulu. Begini, mengapa waktu itu kita tidak mengajak Yanto ke bioskop?"
Ya ampun, Tono. Andi membatin. Mana penglihatanmu tentang kekuasaan yang sudah tua dan membosankan itu? Kau seperti bapaknya Yanto saja.
"Iya, mengapa saya tidak diajak? Anda sekalian lelah dengan cara saya memahami hubungan tak simetris antara perempuan, kekuasaan dan manifestasi kebaikan umum?"
Tiba-tiba Yanto nongol. Wajahnya tentu saja menyiratkan sinisme. "Apa teorimu tentang No Time to Die, To?"
Dkils sudah muak dengan pertengkaran tak tentu arah. Selain itu, dia masih merasa berhutang budi kepada Yanto yang tak jijik ketika mencret merajalela di celananya. Saat itu bersamaan peringatan Sumpah Pemuda. Dkils kini sering berhati-hati dengan nasi kota sisa selamatan.
"Mari kita lihat keberadaan dan peran dan perempuan-perempuan yang tersisa di edisi matinya Bond. Paloma? Nomi? Moneypenny? Mereka hanya berfungsi sekunder, pendukung, pemanis dan peran-peran pinggiran lainnya.Â
Satu-satunya yang bener dari film ini karena Paloma yang menampilkan belakang putih mulus Ana de Armas itu tidak "disikat" juga sama Bond. Kalian berharap adegan tidur dari mereka bukan? Dasar misogisnis."
"Misoginis, kali," Andi meluruskan.