Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Layaknya "No Time to Die", Kesedihan Semestinya Tak Bertele-tele

13 November 2021   18:13 Diperbarui: 30 November 2021   17:00 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dr. Madeleine Swann  yang diperankan  Lea Seydoux | MGM via uproxx.com

Apa yang tidak dibicarakan dari James Bond ketika menunggu rudal tiba lantas melumatnya bersama seluruh fasilitas pengembang senjata biologis? 

Dikils, Andi dan Tono berusaha menimbang-nimbang kemungkinannya. Sore ini, tak ada politik nasional. Mereka memilih membicarakan film saja. Di pos ronda, pada sebuah gang yang pernah menjadi perlintasan sapi di masa kolonial. 

Sesudah pertengkaran kecil karena debat tentang kekuasaan di Bersatu, Bangkit dan Preet! 

"Tentu saja dia terlihat lebih tua, kecapean dan lalai. Sementara yang dihadapinya? Hanya kumpulan lalat. Lihat bagaimana caranya membersihkan pasukan bayaran yang menjaga fasilitas tersebut. Terlalu gampang, bukan? 

Fasilitas serahasia dengan ambisi segila itu cuma dibereskan sebentar saja? Oh ya, juga perempuan yang menggantikannya, 007 yang baru. Seperti apresiasi terhadap kesetaraan gender yang dipaksakan. 

Cara Nomi memegang senjata saja terlihat masih kurang latihan. Lashana Lynch perlu kerja lebih keras lagi."

Seperti biasa, Dkils memulai dengan merumuskan antitesis yang langsung menyerang kejanggalan relasi antar tokoh dengan idenya. "Fukunaga bukan tangan yang pas untuk cerita perpisahan yang (semestinya) nostalgis."

Dan Andi punya versi sendiri. Tak cukup cuma menyimak.

"Saya pikir, kita mesti melihatnya dari hukum evolusi belaka. Kematian Bond adalah keniscayaan yang disimpan. Lojiknya--cieh, lojik--aparatus teror terus berkembang. Mereka bahkan telah mengembangkan nanobot yang membunuh berdasarkan DNA tertentu. 

Sedang Bond, sorry guys, dia bukan John McClane. Tapi, maksud saya, bagaimana jika semprotan nanobot itu diproduksi massal seperti hand sanitizer berharga miliaran?"   

Tono masih tidak bicara. Pada bagian dimana Bond ditembak Lyutsifer Safin, dia tertidur. Tono merasa menderita kelelahan sesudah berseri-seri Bond yang telah lewat sejak zaman Sean Connery. 

"Yanto kok belum kesini, ya?" 

Tono memilih bertanya seperti itu agar disangka sedang tak fokus. Padahal sesungguhnya ia sedang menulis bait seperti ini di kepalanya. Tono sedang gemar menulis syair.

Lihatlah senjakala James Bond itu.
Bagaimana dia memilih berpisah dengan dunia?
Seorang diri. Mati untuk cintanya?

Atas nama nasionalisme dan
kepentingan nasional &

tatanan dunia yang bebas dari teror;
abstrak, rumit dan bermuka dua.

Atau demi nama perempuan. Dua orang barangkali
dan seorang bocah yang
memiliki mata birunya;
karena itu kenangan terus berlanjut: Oh Madeleine. Mathilde

dan dia beristirahat
tidak untuk tumbal, bahkan cita-cita
hanya cerita,
dalam mencintai senja saja.

"Tono?"

Andi tak mengerti. Mengapa kritik yang berdiri di satu sikap terhadap kualitas "No Time to Die" tidak diperhatikan Tono. Mengapa mesti menanyakan Yanto? Jarang-jarang mereka boleh bersatu.

Plaaak. 

Satu tamparan keras tiba di kepala Tono. Kekerasan kecil dipilih sebagai dramatisasi situasi demi menjaga ketegangan cerita, eh, maksudnya demi mengembalikan fokus. "Tonoooo!"

Dkils tak peduli, seperti biasa, seperti kemarin. Sembari menggulung-gulung upilnya menjadi bulatan-bulatan kecil coklat kehijauan, dia memainkan asap dari kretek bekas semalam. 

Kabut putih dan harum cengkeh menembus udara. Memelihara kesan rumit, kalau bukan mistis, dari caranya memahami dirinya sendiri.

"Aku punya pendapat," ujar Tono, "tapi...dengarkan dulu. Begini, mengapa waktu itu kita tidak mengajak Yanto ke bioskop?"

Ya ampun, Tono. Andi membatin. Mana penglihatanmu tentang kekuasaan yang sudah tua dan membosankan itu? Kau seperti bapaknya Yanto saja.

"Iya, mengapa saya tidak diajak? Anda sekalian lelah dengan cara saya memahami hubungan tak simetris antara perempuan, kekuasaan dan manifestasi kebaikan umum?"

Tiba-tiba Yanto nongol. Wajahnya tentu saja menyiratkan sinisme. "Apa teorimu tentang No Time to Die, To?"

Dkils sudah muak dengan pertengkaran tak tentu arah. Selain itu, dia masih merasa berhutang budi kepada Yanto yang tak jijik ketika mencret merajalela di celananya. Saat itu bersamaan peringatan Sumpah Pemuda. Dkils kini sering berhati-hati dengan nasi kota sisa selamatan.

"Mari kita lihat keberadaan dan peran dan perempuan-perempuan yang tersisa di edisi matinya Bond. Paloma? Nomi? Moneypenny? Mereka hanya berfungsi sekunder, pendukung, pemanis dan peran-peran pinggiran lainnya. 

Satu-satunya yang bener dari film ini karena Paloma yang menampilkan belakang putih mulus Ana de Armas itu tidak "disikat" juga sama Bond. Kalian berharap adegan tidur dari mereka bukan? Dasar misogisnis."

"Misoginis, kali," Andi meluruskan.

Tono mendadak menemukan sekutu opini. 

"Tapi, setidaknya Bond sedikit jujur, walau bukan yang paling baik. Teror terhadap dunia Barat memiliki jejaknya dalam ambisi narsistik mereka mengendalikan dunia. Perlawanan wilayah pinggiran sebagai kawasan penopang hanyalah penolakan-penolakan yang enggan diakui mereka.

Bahkan hendak dibereskan dengan pagelaran kekerasan baru. Sejujurnya, yang begini ini sakit jiwa, sih."

Sadis juga si Tono, batin Dkils. "Bisa jadi," Andi tak menduga penglihatan seperti ini.

"Bagaimana dengan Rami Malek atau siapa sih namanya. Lucifer, bukan?" Dkils mengajukan tanya lagi. Dia mengubah strategi. Bukan lagi perumus mula-mula sebuah tesis.  

"Jenis penjahat yang gagal, menurutku," tegas Andi,"dia lebih pantas dilihat sebagai penjahat dengan masa anak-anak yang sakit-sakitkan ketimbang tubuh penuh dengan dendam yang memiliki gagasan gila terhadap kontrol populasi manusia."

"Tapi, mengapa drama agen khusus intelijen dan konspirasi teror gaya Hollywood mesti menyeret-nyeret keberadaan keluarga yang berantakan? Kalian tahu kenapa?" ganti Yanto yang mengambilalih strategi Dkils.

"Sebab.....,"

"Dan itu jarang terjadi dalam film Mandarin." Tono menimpali. 

"Sebab menurut Deadpool, film superhero yang berhasil adalah cerita drama keluarga yang melodramatik." Tutup Yanto sambil terbahak-bahak.

"Bahkan untuk yang satu inipun, No Time to Die adalah kualifikasi yang gagal. Menurutku." Terang Dkils.

"Satu-satunya yang berhasil adalah pesannya tentang perpisahan." Tono seperti ingin menyudahi perbincangan kritik satu perspektif ini. "Perpisahan jagoan super, tegasnya."

"Apa itu?" 

Serempak Yanto, Dkils dan Andi bersuara. Penasaran. Rupanya ada sikap berbeda di ujung pernyataan yang sedari awal meletakkan cerita perpisahan James Bond sebagai film yang gagal. 

"Kesedihan yang dangkal semestinya tidak bertele-tele."

Tono tersenyum. 

"Pinjam duit dong, Ndi? Belum makan siang nih."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun