Sesudah memeriksa baik-baik keterangan di dalam layar Peduli Lindungi, saya diijinkan. Mungkin juga si Om Satpam tak tega melihat penampilan saya yang sejauh mata memandang hanya terlihat jejak panjang ketertinggalan belaka.
Syukurlah. Kami berjalan mantap. Seketika juga, saya membayangkan bagaimana James Bond 007 berakhir? Mengapa dia mesti berakhir? Sampai cerita ini ditulis, saya tidak membaca satupun catatan soal "No Time to Die" itu.Â
Sesudah menaiki eskalator yang relatif lengang, meniti lantai dua ke arah selatan, lantas mendaki eskalator lagi ke lantai tiga, kami tiba di bawah pintu masuk Cinema XXI. Sebentar lagi.Â
Ada seorang petugas jaga dan sebuah mesin yang meminta skening (lagi). Waduh. Cara yang sama kembali digunakan. "Jadi Pak, teman saya ini, bla..bla.."
Demi meyakinkan, saya maju kedepan sambil menunjukan Nokia E71 berwarna perak. Persis anak saya yang bosan menunggu antrian di sebuah klinik dan ketika sang dokter keluar dari ruang periksa, seketika itu juga menunjukan tangannya yang sakit. Dalam hati, berkata, yakinlah, saya tidak berdusta. Â Â Â
"Tetap nda bisa, Pak. Harus sken." Om Satpam bersikukuh sambil meyatukan kedua telapak tangan di dada. Dia menegakkan aturan sembari meminta maaf.Â
"Jadi tetap nda bisa, Om?" kali ini saya yang maju tanpa merasa harus membujuk.
"Nda bisa, no."
"Makase, Om," ucap saya, tersenyum dan balik kanan.Â
Saya bergembira atas dua hal. Sungguh.