Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan - | brontoaji19@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Mengontrol Pandemi di Mall" atau Bagaimana Nokia E71 Kembali dengan Kesenyapan?

29 Oktober 2021   10:17 Diperbarui: 29 Oktober 2021   12:20 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mall di Zaman Pandemi | katadata.co.id

Belum lama berselang, dua orang kawan yang pernah barengan tumbuh di kaki gunung Tampusu, Minahasa; yang juga berkembang dari masa pra-facebook atau masyarakat social media atau perayaan narsisme kolektif tanpa malu-malu mengajak saya jalan-jalan ke mall. Kebetulan, "No Time to Die" masih tayang di Cinema XXI. 

Walau bukan penggemar garis keras Daniel Craig apalagi menanti dengan sabar riwayat James Bond yang aktingnya dimulai Sean Connery, saya kira tak ada salahnya. Ini memang bukan kunjungan pertama ke Manado Town Square, salah satu yang tersibuk di Manado, tapi saya tetap penasaran. 

Seperti apa pandemi mendefinisikan ulang keramaian di dalam salah satu yang disebut kritikus budaya sebagai "katedralnya orang modern"?

Sebagaimana yang sudah, di pintu depan mall, Anda harus mengikuti protokol. Harus mencuci tangan dengan tatacara yang dianjurkan, kemudian mengukur suhu lalu boleh masuk kedalam udara dingin di balik pintu kaca. Menggunakan masker tentu saja adalah anjuran yang pertama. 

Prosedur standar ini juga berlaku di banyak tempat yang menjadi pusat dari kunjungan. Tapi ini sebelum aplikasi Peduli Lindungi yang merangkum data vaksinasi warga menjadi bagian dari prosedur. Peduli Lindungi adalah usaha negara memantau pergerakan warga sekaligus memetakan wilayah sebaran virus (dalam kategori warna-warna dan resiko) hanya mungkin bekerja maksimal jika menggunakan jenis smartphone tertentu. 

Sekarang, di depan pintu mall, Anda harus melakukan skening barcode yang terekam kedalam Peduli Lindungi. Bertepatan juga, saya sedang tidak memiliki cukup teknologi pendukung yang memungkinkan skening itu dilakukan. 

Ringkas cerita, saya cuma punya Nokia E71. Seri yang pernah begitu elitis di zamannya, produk yang menandai satu fase sebelum kemunculan Blackberry tipe Gemini. Atau secara umum, ironisnya, menandai cerita dimulainya kemunduran Nokia dalam pertarungan teknologi telepon genggam.

Maka, kedua kawan saya harus berusaha agar saya bisa masuk ke mall. 

"Pak, ini teman sudah divaksin dua kali. Tapi hape-nya zaman old. Kira-kira bagaimana?" tanya kawan sembari menunjukan keterangan bahwa saya dengan NIK sekian, sudah dua kali disuntik Sinovac dari gawai Xiaomi.

Saya diam saja, persis penumpang kapal Pelni yang tiketnya hilang sementara tangga kapal tersisa satu untuk naik. Walau saya sering berdendang "Kapal bajalan, ngana masih di dermaga. Lambaikan tangan kong baseka airmata," saya bukan jenis penumpang yang terpaksa tabah ditinggal.

Sesudah memeriksa baik-baik keterangan di dalam layar Peduli Lindungi, saya diijinkan. Mungkin juga si Om Satpam tak tega melihat penampilan saya yang sejauh mata memandang hanya terlihat jejak panjang ketertinggalan belaka.

Syukurlah. Kami berjalan mantap. Seketika juga, saya membayangkan bagaimana James Bond 007 berakhir? Mengapa dia mesti berakhir? Sampai cerita ini ditulis, saya tidak membaca satupun catatan soal "No Time to Die" itu. 

Sesudah menaiki eskalator yang relatif lengang, meniti lantai dua ke arah selatan, lantas mendaki eskalator lagi ke lantai tiga, kami tiba di bawah pintu masuk Cinema XXI. Sebentar lagi. 

Ada seorang petugas jaga dan sebuah mesin yang meminta skening (lagi). Waduh. Cara yang sama kembali digunakan. "Jadi Pak, teman saya ini, bla..bla.."

Demi meyakinkan, saya maju kedepan sambil menunjukan Nokia E71 berwarna perak. Persis anak saya yang bosan menunggu antrian di sebuah klinik dan ketika sang dokter keluar dari ruang periksa, seketika itu juga menunjukan tangannya yang sakit. Dalam hati, berkata, yakinlah, saya tidak berdusta.     

"Tetap nda bisa, Pak. Harus sken." Om Satpam bersikukuh sambil meyatukan kedua telapak tangan di dada. Dia menegakkan aturan sembari meminta maaf. 

"Jadi tetap nda bisa, Om?" kali ini saya yang maju tanpa merasa harus membujuk.

"Nda bisa, no."

"Makase, Om," ucap saya, tersenyum dan balik kanan. 

Gawai Nokia Seri E | id.aliexpress.com 
Gawai Nokia Seri E | id.aliexpress.com 

Saya bergembira atas dua hal. Sungguh.

Pertama, bahwa teknologi gawai ala Nokia E71 telah menegaskan batas antara zaman lampau dan hari ini. Kedua, sebab saya bukanlah penikmat agen MI6 rekaan Ian Fleming yang terpapar uring-uringan. James Bond mau berakhir, mau direinkarnasi, bodo amatlah!

Karena itu juga, saya memilih ke toko mainan. Bersama anak, saya sedang mengumpulkan seri DC Comics Multiverse Figure. Tapi tak lama, kami bergegas keluar dari mall yang masih jauh dari ramai. 

Sepanjang perjalanan tanpa tujuan, saya memandang E71 yang sesungguhnya masih menampilkan auranya yang ekslusif. Nada dering dan bunyi pesan masuk seolah-olah menghadirkan masa lalu yang sebelumnya terkubur dalam lapisan ingatan.

Waktu itu, salah seorang senior di kampus sedang gagah-gagahnya melakoni peran sebagai legislator. Tak ada yang tak kenal namanya jika bicara perihal politik di Sulawesi Utara. Nyaris sehari-hari saya bersamanya. 

Sebagai legislator yang sering menjadi pusat dari opini media massa, dia "hanya" menggunakan Nokia E 63. Bodinya berwarna merah dengan papan ketik yang sudah memaksimalkan fungsi dua jempol. Melalui perangkat ini, dia berkomunikasi dengan banyak sosok penting saat itu. Lewat layanan Short Message Service (SMS), dia tergolong yang betah mengetik pesan berparagraf. 

Saya? Tentu saja menggunakan jenis yang lebih rendah levelnya. Tapi bukan dari rahim Nokia. 

Hingga, mungkin karena ketertinggalan sudah tak tega, pada suatu kesempatan, saya boleh membeli Nokia seri E yang konon merupakan salah satu produk terbaik mereka. Waktu itu di Jakarta, di Ambassador, dibelikan seorang teman yang sekarang tengah beredar di pusat kekuasaan juga. Dia baru saja ketiban rejeki. 

"Mau pake BB atau yang mana, Ji?"

Tidak. Saya tetap bersikukuh memilih seri E. Terlanjur jatuh cinta dan memendam angan sedemikian lama. Sempat ada keraguan, tapi bukankah Memes pernah berkata, "Seribu ragu yang kian menyerang, tapi diriku terlanjur sayang." 

Saya jelas tak paham zaman sedang bergeser dan dua jenis yang ditawarkan ini ternyata menanggung nasib sebagai yang tersingkirkan. Pernah tercipta, meraja, hilang dan dikenang-kenang. 

Pandemi dan prosedur yang mengatur hilir mudik manusia pusat-pusat konsumeritas bukan saja menciptakan sejenis pengawasan dan kontrol pada kawanan. Digitalisasi memberi dukungan yang membuatnya lebih efisien dalam pengelolaan data. Orang-orang cemas jika cara seperti ini adalah bentuk yang lebih lembut dari jenis "Orwellian State", mengacu pada novel George Orwell, 1984.

Negara pengawas yang menciptakan macam-macam prosedur untuk memantau, menertibkan, menciptakan kepatuhan serta melestarikan stabilitas terhadap warganya. Slogannya yang terkenal adalah Big Brother is Watching You! 

Bahkan, ada seloroh yang mengatakan sekarang ini Big Brother is Nongkrongin You! ketika ada kebijakan pemerintah yang mengawasi berapa lama warga yang makan di luar rumah.

Apapun itu, pandemi Covid-19 telah membuka kontrol yang lebih besar dari kapasitas negara. Dalih kedaruratan dan keselamatan adalah musababnya. 

Dalam kaitan kapasitas negara-dalam-pengaturan, seorang Slavoj Zizek dalam Pandemik! Covid 19 Mengguncang Dunia (2020), bahkan melihat kondisi krisis global ini tak semata kegagalan kapitalisme sebagai mesin pengatur tatanan dunia, kalau bukan malah penyebabnya. Momen krisis ini juga waktu bagi pengonsolidasian satu pemerintahan komunis internasional.  

Dari pengalaman Nokia E71 yang tertolak di pintu masuk bioskop, saya kini memastikan untuk tetap berada di teknologi lawas. Saya menjumpai dunia yang lebih tenang dan perlu--maksud saya, hanya karena benar-benar perlu, saya baru memegang hape.

Tak ada lagi keriuhan di kepala yang tumbuh dari keramaian dunia maya. Sementara sepi sedang mengitari percakapan dengan sendiri. 

Terimakasih teknologi lawas untuk semesta kecil kesenyapan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun