Usaha mengenali, memahami dan memberi makna secara sistematis kemudian melahirkan apa yang disebut dalam kritik Orientalisme sebagai "Timurisasi Timur". Membuat yang Timur menjadi Timur dalam maksud-maksud atau sejauh dimengerti dalam kepentingan Barat.Â
Sehingga, bagi Barat yang telah mencapai status pengetahuan tertentu dalam mendefinisikan Timur, apa yang asing pelan-pelan mulai ditaklukan atau didisiplinkan. Proses ini sering kita kenal dengan klaim misi pemberadaban (civilization).Â
Sedang bagi kita--dalam kehadiran yang Timur--lantas melihat Barat sebagai yang berkuasa, yang menentukan dan yang memberi harapan. Seolah saja tak ada masa depan lain di luar kerangka yang dibayangkan Barat sebagai pemberadaban Timur itu.Â
Walau begitu, saya tidak bilang bahwa situasi dominatif dalam Barat dan Timur yang berangkat dari "sesuatu yang asing" itu selalu memosisikan Timur sebagai subyek tak berdaya dan pasrah. Timur hanya sansak dari narasi kemajuan Barat.Â
Kita masih ingat, dalam Tetralogi Pulau Buru misalnya, kita diberitahu bagaimana Timur berusaha membalik relasi dominatif itu lewat kiprah Minke alias Sang Pemula alias Tirto Adi Soerjo.Â
Minke mampu tumbuh dalam kesadaran yang kosmopolit dengan visi kemanusiaan yang universal. Dengan kata lain, mampu melampaui relasi kolonial yang merusak mindsett dan psikologi orang-orang terjajah. Sama halnya dengan Jose Rizal, bapak nasionalisme Filipina yang juga memiiki wawasan (politik) global dalam menghadapi penjajahan Spanyol. Rizal mampu bergaul dan memahami kecenderungan zaman saat itu.Â
Pendek kata, apa yang disebut asing dalam interaksi kolonial, adalah bentukan politik dan ideologi yang disengaja untuk mengendalikan. Instrumennya bisa berupa-rupa namun secara umum terbagi dalam dua model. Intrumen Ideologis dan Instrumen Represif, kalau mengikuti pembagian Louis Althusser. Yang pertama bisa lewat lembaga sekolah/pendidikan, yang kedua lewat polisi atau kejaksaan.
Keberadaan negara-bangsa mewarisi hubungan Barat dan Timur seperti itu hingga hari ini. Di dalamnya, nasionalisme bisa tiba-tiba mengeras dan agresif. Nasionalisme yang acapkali menderita amnesia sejarah jika berhadapan dengan kelakuannya sendiri di dalam rumah. Kelakuan yang diskriminatif, rasialistik dan serba ingin dinomorsatukan. Alias bertingkah laku layaknya tuan-tuan kolonial yang baru.Â
"Kepala Putih dalam Kulit Coklat". Penjajah Belanda sudah tidak ada di kejauhan, dia telah hidup di dalam segenap pikiran dan tindakan kita. Relasi ganjil antara penindas dan tertindas yang sudah diperingatkan Paulo Freire dalam Pendidikan Kaum Tertindas.Â
Maka dari itu, dengan sejarah relasi yang mengerikan seperti itu, yang penting diwaspadai mula-mula adalah bukan orang asing dengan kewarganegaraan lain yang bertindak suka-suka di Tanah Air kita.
Sebaliknya, ketika yang "asing" muncul sebagai subyek dari nasion yang lain, mungkin akan lebih penting mencurigai yang dimaksud asing di kepala sendiri itu siapa dan bagaimana mereka bisa ada di sana sebagai pengertian, citra, kebingungan atau justru merawat suasana cemas tak berujung?
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!