Setiap orang berpotensi menjadi asing, tidak terlalu penting dari mana dia berasal. Masalahnya, apakah menjadi asing sama dengan merampas kemanusiaannya atau tidak?
Saya, misalnya. Ketika datang ke kampung halaman almarhum bapak, saya menjadi asing. Sebab saya memiliki kampung halaman yang berbeda. Saya tidak lahir di tempat dan ruang budaya yang sama dengan yang membesarkan bapak. Situasi yang sama juga terjadi manakala saya berpindah tempat merantau.Â
Pertama kali tiba bumi "Toar Lumimuut", saya adalah orang asing dalam arti yang harafiah. Tidak mengerti bahasanya, tidak memahami kotanya, tidak mengerti budaya sehari-harinya. Kamu saja belum tentu tahu letak bumi "Toar Lumimuut" dimana. Jangan sok paling Pancasila, ah.Â
Jadi antara menjadi asing atau tidak bukanlah sesuatu yang absolut, tetap dan mengangkangi sejarah. Sebab itu, titik problematisasinya tumbuh di sini. Pertanyaannya, mengapa menjadi asing dan pribumi hanya penting dalam relasi negara-bangsa. Di luar negara-bangsa, apa yang sejatinya dimaksud sebagai asing dan bukan asing itu?
Jika saja orang Amerika yang bikin heboh di Bali itu orang dari Jakarta Selatan, dia mungkin tidak menimbulkan geger dunia maya. Karena dia tidak berdiri di luar batas-batas yang mendefinisikan kita sebagai satu bangsa. Iya gak sih?Â
Atau, lebih jauh lagi, relasi asing dan pribumi (atau WNA dan WNI) jelas berakar dalam asal-usul kolonialisme. Ketika Barat berjumpa dengan Timur lewat peperangan, penaklukan dan penghisapan. Tentu ada jalan perjunpaan yang lain walau hanya hadir sebagai peristiwa yang langka.Â
Misalnya ketika subyek Barat dalam perjumpaan yang timpang itu, berubah menjadi suara dari Timur. Atau, Timur yang memilih jalur menjadi kaki tangan dari kuasa Barat yang menginjak-injak.Â
Saya ingin membicarakan bentuk relasi pertama: relasi yang menaklukan dan mendisiplikan. Saya kira di dalam relasi seperti itu, menjadi asing atau di-asing-kan atau ter-asing-kan adalah perkara yang bukan semata kata sifat atau kata kerja biasa; netral. Jauh dari fungsi bahasa yang demikian, yang dimaknai sebagai asing berkelindan dengan ideologi politik tertentu.Â
Ideologi politik yang secara sepihak, naif bahkan sarat mitologis, melihat relasi manusia dalam sistem rasial, kasta atau kelas tertentu. Misalnya saja, Barat lebih luhur daripada Timur (yang asing). Barat adalah penemu jalan kemajuan, pembawa panji-panji pencerahan. Ada optimisme yang tidak dimiliki Timur.
Optimisme seperti itu tidak sepenuhnya cacat, sama tidak sepenuhnya patut. Sebab, sesuatu yang asing itu justru karena tidak dikenali. Karena Timur yang berbeda, menyimpan misteri (dan kekayaan) dan menimbulkan rasa penasaran sekaligus kekhawatiran.Â
Usaha mengenali, memahami dan memberi makna secara sistematis kemudian melahirkan apa yang disebut dalam kritik Orientalisme sebagai "Timurisasi Timur". Membuat yang Timur menjadi Timur dalam maksud-maksud atau sejauh dimengerti dalam kepentingan Barat.Â
Sehingga, bagi Barat yang telah mencapai status pengetahuan tertentu dalam mendefinisikan Timur, apa yang asing pelan-pelan mulai ditaklukan atau didisiplinkan. Proses ini sering kita kenal dengan klaim misi pemberadaban (civilization).Â
Sedang bagi kita--dalam kehadiran yang Timur--lantas melihat Barat sebagai yang berkuasa, yang menentukan dan yang memberi harapan. Seolah saja tak ada masa depan lain di luar kerangka yang dibayangkan Barat sebagai pemberadaban Timur itu.Â
Walau begitu, saya tidak bilang bahwa situasi dominatif dalam Barat dan Timur yang berangkat dari "sesuatu yang asing" itu selalu memosisikan Timur sebagai subyek tak berdaya dan pasrah. Timur hanya sansak dari narasi kemajuan Barat.Â
Kita masih ingat, dalam Tetralogi Pulau Buru misalnya, kita diberitahu bagaimana Timur berusaha membalik relasi dominatif itu lewat kiprah Minke alias Sang Pemula alias Tirto Adi Soerjo.Â
Minke mampu tumbuh dalam kesadaran yang kosmopolit dengan visi kemanusiaan yang universal. Dengan kata lain, mampu melampaui relasi kolonial yang merusak mindsett dan psikologi orang-orang terjajah. Sama halnya dengan Jose Rizal, bapak nasionalisme Filipina yang juga memiiki wawasan (politik) global dalam menghadapi penjajahan Spanyol. Rizal mampu bergaul dan memahami kecenderungan zaman saat itu.Â
Pendek kata, apa yang disebut asing dalam interaksi kolonial, adalah bentukan politik dan ideologi yang disengaja untuk mengendalikan. Instrumennya bisa berupa-rupa namun secara umum terbagi dalam dua model. Intrumen Ideologis dan Instrumen Represif, kalau mengikuti pembagian Louis Althusser. Yang pertama bisa lewat lembaga sekolah/pendidikan, yang kedua lewat polisi atau kejaksaan.
Keberadaan negara-bangsa mewarisi hubungan Barat dan Timur seperti itu hingga hari ini. Di dalamnya, nasionalisme bisa tiba-tiba mengeras dan agresif. Nasionalisme yang acapkali menderita amnesia sejarah jika berhadapan dengan kelakuannya sendiri di dalam rumah. Kelakuan yang diskriminatif, rasialistik dan serba ingin dinomorsatukan. Alias bertingkah laku layaknya tuan-tuan kolonial yang baru.Â
"Kepala Putih dalam Kulit Coklat". Penjajah Belanda sudah tidak ada di kejauhan, dia telah hidup di dalam segenap pikiran dan tindakan kita. Relasi ganjil antara penindas dan tertindas yang sudah diperingatkan Paulo Freire dalam Pendidikan Kaum Tertindas.Â
Maka dari itu, dengan sejarah relasi yang mengerikan seperti itu, yang penting diwaspadai mula-mula adalah bukan orang asing dengan kewarganegaraan lain yang bertindak suka-suka di Tanah Air kita.
Sebaliknya, ketika yang "asing" muncul sebagai subyek dari nasion yang lain, mungkin akan lebih penting mencurigai yang dimaksud asing di kepala sendiri itu siapa dan bagaimana mereka bisa ada di sana sebagai pengertian, citra, kebingungan atau justru merawat suasana cemas tak berujung?
Jangan-jangan sesuatu yang asing-sebagai-sesuatu-yang-eksis-di-luar-sana, di kepala sendiri merupakan kehadiran yang tidak pernah berani kita temui dengan pikiran yang terbuka. Kemudian ada negara dengan segenap kapasitas pengawasan juga pemberian hukum tiba, menegaskan keberadaannya, berusaha memberi kita rasa aman dan bangga yang kamuflastik itu.Â
Negara yang hadir (dan andai tak heboh di dunia maya, entah kemana) tampak sebagai "sang Mesiah" bagi kita yang terganggu dengan segenap tumpah darah keagungan nasionalistik atau demi seluruh ketimuran yang luhur itu (luhur? kamu yakin?) Lantas, kamu ada di sana, merasa sedang dibela kedaulatannya, harga diri, preferensi moral dan segenap keagungan sebuah bangsa.Â
Singkat kata, di depan kehadiran yang asing, kita seperti tidak berani menjadi manusia. Cenderung melarikan diri ke dalam kategori-kategori politik (dan moral) yang abstrak, gagah bahkan berhak memutuskan--kenapa ya? Tidakkah yang asing seperti begini yang perlu kita curigai di kepala masing-masing? Sebagaimana kamu mencurigai negara di kepalamu dalam puisi Aan Mansyur:
NEGARA
hatiku tidak
berhenti mema-
tahkan hatiku.
halo, tahun
berapa kamu
hari ini?
Bagaimana, Sobat?***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H