Inilah kitab puisi yang saya nantikan sejak akhir tahun 2020. Dikarang oleh salah satu penyair terbaik dalam mengolah puisi walaupun saya belum memutuskan mengoleksi karya-karyanya sebagaimana yang saya lakukan terhadap Joko Pinurbo. Aan Mansyur. Jika kamu menyukai puisi-puisi dalam film Ada Apa Dengan Cinta 2, maka itu adalah Aan.Â
Andai kamu memang belum kenal sama sekali, kamu bisa mencari tahu siapa sosok ini melalui pertolongan Google. Ada banyak informasi terekam di sana.
Saya kira, judul karya terbaru penyair yang berasal dari Bone, Sulawesi Selatan ini mengisyaratkan sejarah rasa sakit yang dalam dan ketidakmungkinan berdamai dengan sebab-sebab dari rasa sakit itu (?) Mungkin juga pengalaman akan luka yang begitu dahsyat sehingga ia telah menjadi semacam labirin dari rasa sakit: jalan buntu yang melelahkan. Bisa melibatkan hubungan orang dengan orang atau orang dengan ruang.
Tapi, saya tidak bilang bahwa kitab "Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau" adalah biografi mini yang dibahasakan secara puitik oleh si pengarang. Maaf, kitab puisi bukan memoar.Â
Apalagi buku resep yang menghadiahkan pembacanya dengan kiat-kiat bertahan melewati luka. Jangan menilai kitab puisi dari judulnya yang pendek, unik, atau suram bukan?
Yang saya mau bilang, puisi adalah kitab yang dilahirkan para pesembunyi, mengikuti apa yang diterangkan oleh Nirwan Dewanto. Para pesembunyi adalah mereka yang melakukan aksi Escape from Personality, istilah yang dipinjamnya dari TS. Elliot. Seperti apa para pesembunyi dan kerja mereka dalam puisi?
Kamu bisa membacanya dalam satu tanggapan ringkas yang tajam dari Nirwan Dewanto kepada Martin Suryajaya. Kamu bisa membacanya di Puisi Sudah Mati Berkali-kali.Â
Saya tidak akan melanjutkan diskusi ini sebab terlalu tinggi dari kemampuan jangkau kepala saya yang minimalis di hadapan banyak perdebatan intelektual sastra.Â
Saya sekadar ingin mengatakan jika tindakan para pesembunyi dalam melahirkan puisi atau sastra secara umum telah membantu memaknai dunia manusia dengan segala pasang surutnya dari luar perkara instrumentalis atau filosofis--sebagai dua penunjuk pada "yang teknis dan yang spekulatif". Atau dalam bahasa Goenawan Mohamad dalam "Fragmen":Â
Puisi mencurigai rasio yang membawa pengertian yang sudah tetap dan stabil, seperti dalam sistem makna dalam dunia yang rutin, dalam ideologi dan teks agama-agama. Atau lebih persisnya, puisi tidak berada dalam posisi sebagai aparatus konseptual yang menampung "idea" sehingga dengan begitu ia bergumul dengan terang kebenaran tertentu.Â
Jika masih penasaran tentang kerja puisi dalam relasinya dengan bahasa pengetahuan yang lain, kamu bisa berkunjung ke Kitab "Fragmen", Puisi dan Sedikit Catatan sebagai pengantar saja dari bagaimana puisi dipahami di kepala saya.Â