***
Sepasang tangan, pucat dan dingin mencengkram leherku. Ia menatapku lurus-lurus, mata yang marah dan dendam. Kepalanya tak lagi menyala. Hanya ada amis darah yang terus mengalir seperti mata air. Lidahku kaku, kata-kata tercekat di kerongkongan. Kengerian terhebat mengisi dadaku.
"Kamu hanya bisa mengabadikan pembantaian!"Â
Aku tak tahu mesti membalas apa. Tangan itu makin erat mencekik batang leherku. Nafasku kini tinggal satu-satu. Aku biadab yang layak. Mengabadikan kematian di tengah kekacauan.Â
"Kamu mati saja! Hidup juga cuma bisa bercerita tanpa pernah berani membela." Katanya dingin dan tidak ingin berbicara lagi. Nafasku makin jauh dari hidung. Tubuhku terbang dengan biji mata terbelalak. Aku melihat tubuhku yang kaku di ranjang sebuah rumah sakit.
Perempuan itu kemudian pergi dari jendela. Kembali di bawah lampu pekuburan tua. Kepalanya menyala dan berwarna resah. Serasa musim gugur yang sedang bersemi di sekujur tubuhnya.Â
"Negara sudah tua tapi politisinya bebal dan mengerikan."
Aku berlutut di belakang. Dengan kamera tua, menunggu roman dipenuhi kata-kata. Tidak ada lagi dendam di antara kita. Sepasang gentayangan di bulan Desember.
Mataku selamanya akan terbelalak. Sesungguhnya aku menolak dilupakan sejarah.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H