Feeling fotografiku bergetar hebat. "Ini momen, Boy!"Â
Cekreeek. Cekreeek. Lima gambar mengabadikan satu tragedi kekuaasaan. "Jangan ditendang lagi, Pak!" Suara itu kini terdengar lebih keras dan berani. Marah dan ingin meledak. Tapi kaki bersepatu itu tidak sedang menertibkan kekacauan. Tidak datang karena menegakkan damai.Â
"Kamu provokatornya ya?"
"Lho?!" Perempuan itu kaget. Mengapa setiap orang muda yang terjebak di tengah-tengah orang miskin yang marah hanya layak sebagai provokator?Â
Plaaak! Sepasang pukulan dari karet padat meledak di kepalanya. Buuk! Sebuah tendang menyusul sesudahnya, persis di kepala. Tak ada bicara. Negara sedang marah, Nona. Bruuk.
Perempuan muda itu tumbang seketika dengan tengkorak retak. Persis di atas tubuh kurus yang ingin dilindunginya. Darah mereka bersatu. Amis kematian tiba-tiba lebih pekat. Aku mendadak kaku. Seorang perempuan muda dihajar karena tidak tega. Sedang aku? Jurnalis warga celaka!
Dengan segenap nyali yang masih ada, aku berlari menjemput tubuhnya. Kupeluk kepalanya yang sedang penuh merah. Membawanya ke tepi. Di antara raung orang-orang miskin karena ketakutan dan pedihnya rasa sakit. Orang-orang kalah.Â
"Nona, nona?!" Kutepuk pipinya yang bersih. "Nona, bangun. Bangun." Tak ada suara. Nafasnya semakin pelan.Â
"Bangun, Nona. Tolonngg!!" Panik. Kematian sudah di mata. Matanya yang terbuka kini melotot tajam. Mata yang ingin memangsaku bulat-bulat. Aku yang seharusnya bermohon di antara tendangan bersepatu dengan tubuh yang kurus itu. Tapi tak ada pertolongan hingga mata itu tertutup selamanya.Â
Buuk! Sebuah popor senapan menghantam tengkuk. Aku pingsan. Perempuan itu berakhir di pangkuanku.
Hari itu Sebelas Desember.