Kemudian timbul kabar menteri nekad korupsi? Bangkee!
Mengapa di jabatan tinggi, memiliki kewenangan sentral, sumberdaya berlimpah yang seharusnya digunakan untuk menyelamatkan jutaan orang yang bertarung menunda kolaps justru tidak terjadi? Kebijakan sosial (social policy) seketika menampilkan diri semata arena yang penuh siasat demi melayani nasfu serakah diri/barisan sendiri?
Mengapa berkuasa mudah menumpulkan sensitivitas dan nurani kemanusiaan? Mengapa orang-orang miskin di mata kekuasaan mudah jatuh martabatnya menjadi statistik belaka?
Apakah banalitas dan politik sejatinya adalah sangkar besi yang hanya mungkin diatasi oleh manusia-manusia paska-duniawi yang jumlahnya hampir tak ada? Semacam keniscayaan yang berkembang dari dominasi rasionalisme instrumental seperti dalam hukum besi birokrasi?
Orang-orang baik masih banyak? Hahaha. Iya, kebanyakan mereka jelata dan hidup jauh dari politik harian nan menjijikan. Kalaupun ada dalam produksi kebijakan level elite, segera saja ditendang keluar.
Kedua, mengapa usaha membangun sistem yang bersih selalu mudah dihajar oleh akomodasionisme yang seringkali demi adem-ayem-aman-tentram-stabil-terus akhirnya mandeg dan kembali kayak yang dulu-dulu saja?
Kita terus tiba lagi, lagi, lagi pada jalan buntu yang sudah bertahun-tahun terjadi: Politik adalah pengaturan hidup bersama di tangan segelintir belaka.
Celakanya, kita masih harus percaya pemilu berbiaya mahal itu memenangkan aspirasi terbaik dari kita semua. Percaya bahwa pejabat publik itu ditakdirkan melayani.
Kalaupun produk pemilu hanya mengawetkan serial kekecewaan, tetaplah percaya ada orang-orang baik yang sedang disandera oleh pertarungan geng.
Tersandera mereka yang merasa paling berhak menentukan siapa dan bagaimana kekuasaan semestinya bekerja. So, sampai kapanpun, setialah berprasangka dengan kata-kata usang, semua politisi pada dasarnya bersih sampai terbukti korupsi.
Etapi...
Perkara kompromisme yang menyenangkan semua geng itu, sejarah politik kita tak suram-suram melulu. Kita sesekali diberikan anti-sistemnya. Saya kira, untuk saat ini, mayoritas warganet bersepakat jika anti-sistem itu termuat dalam frasa "Tenggelamkan!" milik seorang perempuan.
Ibu Susi Pudjiastuti adalah contoh orang tiada bersekolah tinggi-tinggi, petarung dari bawah dan ketika memiliki momentum, penuh nyali-campur-nekad menghantam warisan permainan lama (di laut) yang merugikan tapi diperlihara. Katakan tidak pada kompromi! Jangan lupa makan ikan.
Jadi tak usah berbuih-buih perihal orang baik yang (suka) tersandera. Dan tak usah GR merasa ini serangan buat Jokowi belaka. Sudah basi! Ini penyakit system yang renewable, bos.