Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Menteri Korupsi Zaman Pandemi, Bagaimana Nasib Jelata?

7 Desember 2020   10:28 Diperbarui: 7 Desember 2020   20:17 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Koruptor (KOMPAS/SUPRIYANTO)

Setan-setan politik 'kan datang mencekik. Walau di masa paceklik tetap mencekik! (lagu Sumbang-Iwan Fals)

Bagaimana cara memahami kehidupan politik saat mengetahui ada menteri nekat korupsi di zaman pandemi?

Ketika banyak orang harus kehilangan pekerjaan, stress berbulan-bulan, kehilangan pendapatan hingga rumah tangga berantakan lalu butuh bantuan sosial yang ketika dibagi-bagi tak seberapa itu, masih ada perilaku maling struktural-dari arah-negara-yang kehadirannya senin-kamis alias megap-megap -itu?

Ringkas kata, bagaimana cara menerima tragedi yang diproduksi dari arah negara kepada warga jelata? Dalam posisi saya saja misalnya. Jelata produk sekolahan yang harus pergi jauh dari rumah demi makanan halal. Anak dari sepasang guru rendahan.

Beruntung karena perjuangan mereka, bisa bersekolah sampai di jenjang perguruan tinggi, diwarisi mentalitas merantau, dan punya sedikit ruang pergaulan yang memungkinkan mengakses pekerjaan jenis "kognitariat".

Sumber Gambar: transparency.org
Sumber Gambar: transparency.org
Saya adalah golongan jauh dari kaya namun berjuang berada sedikit saja di atas jangan sampai melarat.

Yang seperti saya, barangkali tidak penting secara kalkulasi politik. Jenis pekerja kontrak alias musiman. Seketika berantakan seluruh keringat yang ditabung sebab keharusan menjalankan isolasionisme karena pandemic di tengah cicilan yang tak kenal nanti dan harga susu yang tak kenal turun.

Maka sesudah beberapa bulan, harus berjuang lagi cari makan ketika angka kasus covid-19 terkendali masih di level angan-angan negeri berflower. Ketika grafik melandai itu sudah terjadi di dalam simulasi (belaka). Mengapa kami begini memang bukan jawaban yang mudah buatmu, koruptor!

Saya dan kasta sejenis jelas tidak menerima bantuan negara. Dicacah saja mungkin tidak.

Kami adalah representasi dari pertumbuhan kelas menengah semu. Sudah jauh dari mengolah tanah dan menjalani kerja berbayar (baca: bergantung upah). Milenial angkatan pertama yang divonis tidak bakal bisa bikin rumah sendiri. Disangka tak mungkin tumbang karena pandemi. Aih, aih.

Tidak masalah lebih lemah dari angkatan sebelum kami asal jangan menambah daftar panjang kejahatan generasi terhadap ibu pertiwi---idealisme apalagi yang bisa kamu pertaruhkan bagi masa depan negeri kalau bukan ini? Jangan menjadi beban apalagi sumber baru kerusakan, please.

Kemudian timbul kabar menteri nekad korupsi? Bangkee!
Mengapa di jabatan tinggi, memiliki kewenangan sentral, sumberdaya berlimpah yang seharusnya digunakan untuk menyelamatkan jutaan orang yang bertarung menunda kolaps justru tidak terjadi? Kebijakan sosial (social policy) seketika menampilkan diri semata arena yang penuh siasat demi melayani nasfu serakah diri/barisan sendiri?

Mengapa berkuasa mudah menumpulkan sensitivitas dan nurani kemanusiaan? Mengapa orang-orang miskin di mata kekuasaan mudah jatuh martabatnya menjadi statistik belaka?

Apakah banalitas dan politik sejatinya adalah sangkar besi yang hanya mungkin diatasi oleh manusia-manusia paska-duniawi yang jumlahnya hampir tak ada? Semacam keniscayaan yang berkembang dari dominasi rasionalisme instrumental seperti dalam hukum besi birokrasi?

Orang-orang baik masih banyak? Hahaha. Iya, kebanyakan mereka jelata dan hidup jauh dari politik harian nan menjijikan. Kalaupun ada dalam produksi kebijakan level elite, segera saja ditendang keluar.

Kedua, mengapa usaha membangun sistem yang bersih selalu mudah dihajar oleh akomodasionisme yang seringkali demi adem-ayem-aman-tentram-stabil-terus akhirnya mandeg dan kembali kayak yang dulu-dulu saja?

Kita terus tiba lagi, lagi, lagi pada jalan buntu yang sudah bertahun-tahun terjadi: Politik adalah pengaturan hidup bersama di tangan segelintir belaka.
Celakanya, kita masih harus percaya pemilu berbiaya mahal itu memenangkan aspirasi terbaik dari kita semua. Percaya bahwa pejabat publik itu ditakdirkan melayani.

Kalaupun produk pemilu hanya mengawetkan serial kekecewaan, tetaplah percaya ada orang-orang baik yang sedang disandera oleh pertarungan geng.

Tersandera mereka yang merasa paling berhak menentukan siapa dan bagaimana kekuasaan semestinya bekerja. So, sampai kapanpun, setialah berprasangka dengan kata-kata usang, semua politisi pada dasarnya bersih sampai terbukti korupsi.

Etapi...
Perkara kompromisme yang menyenangkan semua geng itu, sejarah politik kita tak suram-suram melulu. Kita sesekali diberikan anti-sistemnya. Saya kira, untuk saat ini, mayoritas warganet bersepakat jika anti-sistem itu termuat dalam frasa "Tenggelamkan!" milik seorang perempuan.

Ibu Susi Pudjiastuti adalah contoh orang tiada bersekolah tinggi-tinggi, petarung dari bawah dan ketika memiliki momentum, penuh nyali-campur-nekad menghantam warisan permainan lama (di laut) yang merugikan tapi diperlihara. Katakan tidak pada kompromi! Jangan lupa makan ikan.

Jadi tak usah berbuih-buih perihal orang baik yang (suka) tersandera. Dan tak usah GR merasa ini serangan buat Jokowi belaka. Sudah basi! Ini penyakit system yang renewable, bos.

Protes ini soal kemuakan terhadap praktik akomodasionisme cum kompromisme yang lebih tampak melayani nafsu bagi-bagi kue, biar stabil-biar semua senang, biar keadaan tenang-tenang. Ketimbang sebagai bagian dari konsolidasi bernegara bangsa demi memajukan politik yang bermartabat.

Tapi masalah kita bukan cuma korupsi di masa pandemi, Cuuy.

Politik hari ini juga dipanasi oleh gelombang sektarianisme dan anarkisme sosial media yang mengancam prinsip dasar dari persaudaraan sebuah bangsa. Keadaban publik terancam, bukan saja keberadaan para pakar (Expert System). Nasib Negara Hukum gimana? Sudah lama sesak nafas, kali.

Jadi, karena ada serangan (yang akar serabut patologinya juga berkelindan dengan kemunculan negara kekerasan paska-kolonial) seperti itu terus kita mesti menahan diri tidak meluapkan kemuakan?

Kita tetap harus bersabar, bahwa kita masih dalam tahap konsolidasi. Saking ngebet sama konsolidasi, orang sakit terpapar Covid-19 pun patut saja dikejar kotak suara. Di atas itu semua, bukankah orang sabar terlatih kesal?

Institusionalisasi demokrasi kita belum sematang Amerika Serikat yang ketika melahirkan penyimpangan dan keganjilan kayak Donald Trump, berikutnya bakal dilengserkan secara damai dan fair.

Di sini, siklus menyimpang dari kekuasaan demokratis dikoreksi oleh prosedurnya sendiri. Tak bawa tentara atau adu mobokrasi (kecuali yang dilakukan Pentagon di Amerika Latin atau Timur Tengah).

Media massa kita juga lemah gemulai. Mudah silau sama sensasi, gosip dan jalan darahnya bersumber dari perburuan iklan. Belum lagi jantungnya dijaga oleh kuasa bisnismen yang menyaru politisi. Keberpihakannya tergantung musimnya apa dan sedang nge-blok kemana.

Lagipula, bukankah jelata menjadi absah keberadaanya karena kesediaan menanggung nasib sebagai alas kaki dari pasang surut zaman merdeka?
Sistem yang menjadi medan hidupmu memang disiapkan meraih kepercayaanmu dan meninggalkanmu dengan segala macam sumpah serapah tak berkesudahan.

Sudah mending dibangunkan fasilitas umum, layanan dasar, dan tunjangan-tunjangan di masa tua dan sakit. Sudah mending bisa sekolah dan meneruskan mimpi-mimpi wong sukses bin sugih.

Korupsi orang terdidik lagi rupawan? Ini hanya oli bukan mesin itu sendiri. Kamu juga gak ikutan antri berjam-jam dalam kerumuman demi uang ratusan ribu yang sekejap habis buat beli rokok dan permen itu kan? Ada jutaan orang gak seberuntung kamu, wahai Social Justice Warrior kambuhan dan buzzeRp garis membela-yang-piara! Gak usah banyak frooteess! Lho, ini kok jadi kemana-mana?

Yakinlah, daftar kemuakanmu berhadapan dengan jalan buntu dan serangan balik yang niscaya.

Jalan buntu itu adalah sistem yang reproduksinya berakar dalam ke unit-unit dasar dimana politik itu sudah bermasalah justru pada dalilnya yang paling penting. Jadi, dia melampaui kesementaraan siklis dari peralihan musiman sebuah rezim yang dilahirkan pemilu ke pemilu.

Kalau kamu masih percaya ada masa depan politik yang menjadikan manusia-manusia politisi sebagai pelayan garis keras dari cita-cita hidup bersama.

Politisi yang sehari-hari mewujudkan keluhuran gagasan dan konsistensi tindakan yang menjadi alasan mengapa kemerdekaan adalah jembatan. Maka, itu bukan gaya masa kini. Pergilah ke museum atau ke perpustakaan saja.

Ya udah, be a good jelata! Cari makan yang benar. Jangan makan hak-hak orang lain!!***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun