Sungai Nusa bukan tidak memiliki sejarah perburuan kayu dan kebakaran lahan. Sama seperti nasib yang umumnya menimpa di masa lalu, yang membedakan barangkali karena di antara hutannya, masih terdapat kebun rotan warga yang tak lagi memberi nilai tambah ekonomi.
Pada hari ketika saya kesini, seorang nelayan tangkap berhasil membawa pulang Toman/Tahuman (Orheichepalus micropeltes) seberat  tiga kilogram.
Tetesan bikin gatal ini mendera saya hampir dua minggu lamanya. Tapi saya tahu, ini adalah sejenis salam perkenalan. "Selamat Datang di Sungai Nusa, semoga betah." Dan, walau dengan intensitas yang rendah, saya sudah bolak-balik di sini seusia satu rezim politik.
Tapi, bagi kamu, ke sini mungkin untuk bertanya kepada seluruh pengalaman perjumpaanmu, sejauh apa telah mengakrabi ketiadaan? Hehehe.
Melewati sungai Nusa, saya bergerak ke arah utara. Ke sungai Asam yang di salah satu sudutnya, saya berjumpa anak orangutan. Dia mungkin ingin mengatakan ada rombongan kami, "Di sini, tolong dijaga," sebelum menghilang di antara puncak-puncak pohon.
Apa yang bisa kamu serapi dari kenyataan di sungai Asam?
Karena itu, nasib ekologisnya seolah berada di dalam ketegangan "anugerah Vs. musibah".
Selain di kawasan sungai Asam, salah satu padang kumpai yang hening dan menghijaukan tatapan adalah gugusan yang membentuk keberadaan dan sejarah danau Burung. Ketiadaan tegakan pohon besar membuatnya seperti permadani yang memanjakan rasa tenang sekaligus menyimpan bahaya (kebakaran) ketika musim kemarau tiba.Â
Kamu bisa menyelami penampakan danau Burung di bawah ini.