Tampelas adalah ruang hidup dengan kenangan dari zaman perburuan kayu yang pelan-pelan ingin dilupakan.
Kalau kamu datang dari Palangkaraya, tempuhi jalan darat hingga ke Kasongan, ibukota kabupaten Katingan. Dari sini, kamu bisa menumpang taxi air (klotok) menuju hilir dan akan tiba di Tampelas. Atau kalau tidak, kamu bisa terus saja hingga tiba di Kereng Pakahi. Di sini, sudah ada klotok yang akan mengantarmu hingga tiba di Tampelas.
Andaikan kamu berangkat dari Sampit, kamu harus menempuh perjalanan sungai melintasi DAS Mentaya. Lantas menelusuri kerokan Hantipan hingga tiba di Mendawai juga dengan klotok. Dari sini, kamu masih harus bermalam dulu lantas besok harinya bergerak dari menuju hulu dengan klotok hingga tiba di Tampelas.
Tampelas bukan desa yang besar walaupun memiliki asal-usul hingga ke tahun 1930-an. Warganya hanya terhimpun ke dalam dua Rukun Tetangga dengan keseluruhan jumlah populasi tidak lebih dari 400-an KK. Tampelas bertetangga dengan dua desa. Di sebelah utara, adalah Telaga sedang di selatan adalah Galinggang. Sedang di barat, wilayahnya berbatasan dengan konsesi perkebunan dan di timurnya adalah area Taman Nasional Sebangau.
Tatkala pertama kali datang di tahun 2014, kebanyakan warga yang bermukim adalah orang tua, perempuan dan anak-anak. Desa yang sepi, bukan cuma sederhana. Pemudanya banyak yang bekerja ke luar desa atau masih bersekolah. Mereka hanya pulang ketika hari besar atau pada saat peringatan 17 Agustus agar boleh terlibat dalam pertandingan sepakbola antar desa sekecamatan Kamipang.
Kebanyakan orang Tampelas hidup dari nelayan tangkap tradisional yang bergantung pada ekosistem hutan rawa gambut. Dalam laporan "Potensi Ekowisata Danau di Kawasan Kamipang Kalimantan Tengah" (Jurnal Biosaintifika: 2014), bentang alam dimana Tampelas berada memiliki sebaran danau rawa dan anak-anak sungai yang menyediakan ikan jenis beragam.
Menyebut beberapa saja, seperti Baung (Hemibagrus demurus), Krandang (Channa pleurophthalma), Kakapar (Belentia hesselti) Papuyu (Anabas testudineus), Lais (Kryptopterus limpok) juga dua jenis ikan sungai yang tergolong langka Balida (Notopterus chitala) dan Peang (Channa marulius). Dua jenis terakhir ini masuk dalam The IUCN Red List of Threatened Species 2013.
Cerita dari pinggiran kali ini tidak akan menyentuh pergulatan orang Tampelas melewati transisi hidup dari zaman kayu dimana uang segar dalam jumlah besar mudah diperoleh karena aktifitas penebangan hutan besar-besaran dan ilegal. Lantas sesudah itu, mereka kembali mengelola kehidupan dengan menjaga keberlangsungan hari-hari dari sungai yang mulai terdegradasi.Â
Pendek kata, bagaimana mereka melewati pasang surut di tengah daya dukung ekosistem rawa gambut yang membutuhkan pemulihan diri.
Sebaliknya, cerita pinggiran ini hanyalah berupa cerita rekaman lensa (foto) dari smartphone terhadap beberapa anak-anak sungai yang menjadi lokasi bagi pertanyaan-pertanyaan yang mungkin jawabannya tidak kamu temukan di ramai kota besar.Â