Pendek cerita, dalam darah kami, darah perantau terwarisi dengan merata. Seolah saja, tidak merantau bukanlah dari jalan kami hidup di muka bumi.Â
Jadi, saya hanya ingin berbagi sedikit tentang ilmu merantau itu di mana saya menemukan cara menjadi manusia bermakna.Â
Ilmu ini wasiatkan mama jauh-jauh hari sebelum saya pertama kali pergi jauh dari rumah karena lulus ujian masuk perguruan tinggi negeri.Â
Pertama, Tetanggamu adalah Saudaramu-Menyapalah, Jangan Pasif!
Di mana saja mama bermukim, semua tetangga adalah saudaranya. Ini adalah prinsip utama yang berulangkali diwasiatkan kepada kami.
Entah di Serui, sebuah kota kecil dengan irama hidup yang lambat dan semua orang nyaris saling mengenal. Juga di Yotefa, pada sebuah perkampungan pinggiran multi-etnik-agama yang padat di Jayapura.Â
Atau di Padang Bulan, di mana kami tinggal di kompleks perumahan yang kebanyakan dihuni oleh abdi negara rendahan. Termasuk di Kulonprogo, Yogyakarta. Pada satu ruang budaya di mana mama sama sekali tidak bisa bercakap-cakap dalam bahasa Jawa.
Mama selalu bisa menjadi "bagian inti" dari pergaulan sosial di semua ruang hidup itu. Di Serui, mama bukan saja merawat ikatan yang kuat dengan sesama guru.Â
Mama juga memiliki keluarga di perantauan yang siap sedia tolong menolong kapan saja. Cerita yang lebih tentang ikatan para guru di mana mama terlibat di dalamnya bisa dibaca pada Memori Kota Serui, Pelajaran dari Perjumpaan Kembali.Â
Di Serui, kehidupan bertetangga yang berhasil dibangun mama menganugerahi saya dengan kasih sayang seorang mama Papua.Â
Dari seorang perempuan penuh kelembutan dan kasih dari pulau Ansus, Kepulauan Yapen. Darah dan daging saya pernah meminum air susunya. Â Â