Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menjadi Perantau Bermakna ala Mama

26 November 2020   00:12 Diperbarui: 26 November 2020   03:16 1973
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
wanita dalam perantauan (Sumber: imghtlak.mmtcdn.com)

Mama hanyalah perempuan sederhana dari sebuah kampung yang tidak melahirkan daftar panjang pahlawan

Kampung itu terletak di salah satu sudut kepulauan Maluku Utara. Pada sebuah kampung pesisir dengan ingatan kepada sejarah leluhur yang sangat kuat. Mama lahir sesudah 7 tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Sesudah memenuhi syarat bersekolah, mama memilih hidup sebagai guru. Hampir seluruh hidupnya diabadikan untuk ini. 

Sebab itu juga, di penghujung tahun 80-an ia pergi ke Papua. Mengikuti suaminya yang juga seorang guru sederhana. Mereka sama gemar pada ilmu pasti dan dikenal pengajar matematika yang tidak kenal menyerah. Mama bahkan masih menerima anak tetangga yang belajar ke rumah di masa-masa menjelang purna tugas.

Sesudah masa purna tugas tiba, kami meminta mama dan bapak kembali saja ke Jawa. Bapak yang seorang Jawa itu terlalu lama di Papua. 

Ia bahkan terasa lebih Papua ketimbang seorang Jawa yang tidak suka dengan hidup yang sekadar hidup. Perantau tipe keras hati dan keras kepala. 

Sesudah bapak mangkat, mama tetap tinggal di Jawa dengan anaknya yang bungsu. Sesekali bepergian mengunjungi dua anaknya yang menetap di sebelah Timur Indonesia. Saya dan adik perempuan yang semata wayang. 

Saya dan dua orang adik lahir di Papua, persisnya di Serui. Serui adalah sebuah kota kecil dengan pesisir yang indah. Tapi kami tidak lama di kota yang mengajarkan persaudaraan lintas suku dan agama mula-mula kepada kami. 

Seperti bapak dan mama, kami akhirnya menempuh jalan merantau. Ke Jayapura, menghabiskan masa pendidikan dasar lalu pergi ke jenjang yang lebih tinggi di pulau seberang. 

Saya duluan pergi ke Manado, Sulawesi Utara. Setahun kemudian, adik perempuan saya. Tak lama, adik bungsu kami yang masih SMP menyusul juga. Tapi ia lebih suka belajar langsung ke Jawa. 

Pendek cerita, dalam darah kami, darah perantau terwarisi dengan merata. Seolah saja, tidak merantau bukanlah dari jalan kami hidup di muka bumi. 

Jadi, saya hanya ingin berbagi sedikit tentang ilmu merantau itu di mana saya menemukan cara menjadi manusia bermakna. 

Ilmu ini wasiatkan mama jauh-jauh hari sebelum saya pertama kali pergi jauh dari rumah karena lulus ujian masuk perguruan tinggi negeri. 

Pertama, Tetanggamu adalah Saudaramu-Menyapalah, Jangan Pasif!

Di mana saja mama bermukim, semua tetangga adalah saudaranya. Ini adalah prinsip utama yang berulangkali diwasiatkan kepada kami.

Entah di Serui, sebuah kota kecil dengan irama hidup yang lambat dan semua orang nyaris saling mengenal. Juga di Yotefa, pada sebuah perkampungan pinggiran multi-etnik-agama yang padat di Jayapura. 

Atau di Padang Bulan, di mana kami tinggal di kompleks perumahan yang kebanyakan dihuni oleh abdi negara rendahan. Termasuk di Kulonprogo, Yogyakarta. Pada satu ruang budaya di mana mama sama sekali tidak bisa bercakap-cakap dalam bahasa Jawa.

Mama selalu bisa menjadi "bagian inti" dari pergaulan sosial di semua ruang hidup itu. Di Serui, mama bukan saja merawat ikatan yang kuat dengan sesama guru. 

Mama juga memiliki keluarga di perantauan yang siap sedia tolong menolong kapan saja. Cerita yang lebih tentang ikatan para guru di mana mama terlibat di dalamnya bisa dibaca pada Memori Kota Serui, Pelajaran dari Perjumpaan Kembali. 

Di Serui, kehidupan bertetangga yang berhasil dibangun mama menganugerahi saya dengan kasih sayang seorang mama Papua. 

Dari seorang perempuan penuh kelembutan dan kasih dari pulau Ansus, Kepulauan Yapen. Darah dan daging saya pernah meminum air susunya.   

Pun di Jayapura, ketika di Yotefa atau di Padang Bulan. Di Yotefa, kami memiliki tetangga-tetangga yang sudah selayaknya saudara karena mama mampu menjadi "solidarity maker" yang telaten. Karena ini juga, saya bahkan telah menjadi bagian dari keluarga Batak yang hingga hari ini masih saling bertanya kabar.  

Di Padang Bulan, kami memiliki tetangga dari kelurga Raja Ampat, Ambon, Makasar, Jawa yang tak ubahnya saudara kandung. 

Mama adalah pemain kunci yang merajut ini semua. Saya kira situasi ini karena kultur besar Indonesia Timur di mana mama tidak terlalu mengalami kesulitan dengan sikap hidup juga kebiasaan sehari-hari. 

Tapi, hidup di Jawa dalam beberapa tahun dengan tetangga yang hangat adalah penerapan ilmu tetanggamu adalah saudaramu yang tak bisa lagi dibantah. 

Mama yang tak bisa berbahasa Jawa itu kini menjadi inti yang merekatkan hidup bertetangga secara hangat. 

Pada satu waktu, mama pernah menelpon dan bercerita kegiatannya bersama ibu-ibu. Selain pengajian rutin dan arisan, mereka juga aktif mengunjungi tetangga yang sakit.

Mama rasanya akan bisa hidup di mana saja. Sikapnya yang selalu menyapa atau memulai percakapan dengan orang lain membuatnya selalu terbuka dan bersedia menjadi bagian dari kehidupan khalayak. Mama selalu menyambut kebersamaan, bukan menunggunya. 

Saya sampai berseloroh, karena sikapnya menyambut kebersamaan, "Bahkan dengan batupun, bisa diajak bicara sama mama."

Menjadi Perantau Bermakna | Dokumentasi Pribadi
Menjadi Perantau Bermakna | Dokumentasi Pribadi

Kedua, Berhati-hati selalu, Kamu di Negeri Orang! 

Kewaspadaan seperti ini mulai sering dipesankan mama sesudah saya belajar menafkahi hidup sendiri. 

Ini selalu dipesankan mama di setiap akhir dari percakapan telepon sesudah menanyakan kabar cucunya dan kabar saya. 

Mama tahu, pada dasarnya, saya juga bekerja dengan orang banyak. Lebih persisnya, dengan selalu berusaha menjaga kepercayaan orang banyak. Sebab itu, sejatinya juga menjalani hidup seperti yang sudah ditunaikan bapak dan mama.

Berhati-hati itu bermakna bahwa selalu berusaha selalu sungguh-sungguh dalam menjaga kepercayaan. Apa yang menjadi mandat untuk dikerjakan, kerjakan dengan sungguh. 

Sebisa mungkin mengurangi kekecewaan. Sementara "di negeri orang" bermakna jika saya tidak boleh sampai lalai jika seperti ini adalah meresapi kebiasaan, adab, dan sikap-sikap setempat. 

"Di Negeri Orang" juga adalah pengingat jika kemampuan untuk selalu bisa diterima orang lain mesti terus dikembangkan. 

Dengan kata lain, berhati-hati dan berada di negeri orang adalah kompas nilai yang membuat saya harus selalu bisa masuk dan menjadi bagian dari kehidupan baru di mana pun saya harus pergi. 

Barangkali dengan begitu, saya bisa menjadi orang yang selalu fleksibel dan boleh memandang keseharian yang kompleks dari macam-macam cara memaknai.  

Fleksibilitas seperti ini, rasa-rasanya, telah menemani saya yang sudah berpindah-pindah hidup di pulau-pulau utama Nusantara. Seperti Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera. 

Fleksibilitas yang mengingatkan pada pepatah "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung" juga adalah jejak nyata dari riwayat mama yang juga mengalami hidup berpindah-pindah. Ini juga adalah pesan agar tidak terburu-buru menghakimi; laku hidup yang sulit sekali. 

Ketiga, Jangan Lupakan Akarmu-Pelajari Silsilah! 

Walau telah berpindah dari Timur ke Barat Nusantara. Walau telah membekali saya dengan ilmu hidup di negeri orang yang terbukti berfaedah, ada satu lagi rahasia hidup ala mama yang bekerja sebagai penyeimbang. Semacam kombinasi antara "Outward dan Inward Looking". 

Yakni kemampuannya mengingat dan mengurutkan silsilah keturunannya. Baik yang berasal dari Opa maupun dari Oma.

Mama selalu mudah memeriksa seseorang jika menyebut nama marganya. Dari sini, mama segera saja memahami orang yang sedang diajaknya adalah saudara jauh dari garis bapak atau mamanya. Atau, orang yang masih memiliki garis dari dengan tetangganya di kampung dulu.

Ada satu pengalaman di mana mama dan bapak tiba di Surabaya. Saat itu tidak ada yang menjemput. Bapak, seorang Jawa yang mestinya bisa memobilisasi bantuan ternyata tidak bisa berbuat banyak. 

Tiba-tiba saja, mama yang kampung halamannya hampir tak tertulis di peta itu teringat saudara sepupunya yang sudah lama merantau di sini. Ringkas cerita, sepupunya ini yang datang menyelamatkan mereka dari terkatung-katung. 

Ketika pulang ke Ternate, misalnya. Momen berkumpul dengan keluarga besar adalah juga momen memutakhirkan silsilah keluarga. Mama bukan saja melacak mereka yang masih hidup atau baru saja berpulang. Namun juga mengisi perbendaharaan silsilah baru dengan generasi penerus yang baru lahir atau bergabung dengan keluarga baru. 

Saya sendiri pernah sekali waktu diajak bapak menyusuri silsilahnya. Baru dua lapisan generasi, sudah kesulitan merunut nama-nama dan garis hubungan. 

Gawat! Saya adalah produk generasi dengan ingatan pendek. Sebaliknya, sampai detik ini, mama masih fasih merunut silsalah keluarga dan pencabangan besarnya. Apa ini karena saya menolak mencintai matematika?

Mama seperti selalu berpesan, kamu boleh ke mana-mana, ketemu dunia berupa-rupa. Tapi jangan lupakan akarmu, pelajari silsilah. Kamu juga tidak tahu akan berakhir di negeri orang atau kembali ke kampung di mana kamu dilahirkan.

Itu tiga rahasia menjadi perantau bermakna dari seorang perempuan sederhana, penghuni perkampungan pesisir, seorang guru dan perantau yang tidak pernah melupakan akar keberadaannya. Ini hanya sedikit yang saya bisa rekam dan berusaha menerapkannya sepanjang hayat.

Tiga rahasia menjadi perantau yang bermakna dan telah menemani saya mencintai Indonesia yang majemuk. ***    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun