Saya kira, pada bagian tembak-tembakan yang ditampilkan dengan begitu dramatik, intens serta penuh brutalitas.Â
Dari aksi pembebasan di dalam rumah susun yang padat dan gerah hingga di antara barikade di jembatan, pertempuran dengan tangan kosong, pisau hingga senjata berlangsung dengan ketegangan, intensitas dan pertunjukan kekerasan yang menyerap keheningan.Â
Kamera yang bergerak dalam jarak dekat membuat pertempuran ini serasa ada di sekitar penonton. Begitu hidup dan memaksa perhatian tidak pergi kemana-mana sejak Tyler memutuskan untuk berangkat ke Dhaka. Desing peluru, daging yang sobek, kebasan pisau hingga teriakan terakhir sebelum tumbang terdengar begitu dramatik. Efek ketegangan sungguh bekerja dengan maksimal.
Kita terus bisa bersaksi jika Chris Hemsworth memang terlihat total di film yang juga ikut diproduserinya ini. Sam Hargrave, sang sutradara debutan rasanya cukup sukses dengan kerja perdana memakan biaya 65 juta dolar AS. Dan yang tak kalah penting adalah, tentu saja kontribusi Joe Russo yang ikut menulis cerita dan mengerjakan adegan layar (Screenplay).Â
Mungkin karena fokus pada ekplorasi ketegangan dalam adegan tempur, Extraction memang mengabaikan drama anak manusia di balik film aksi pembebasan. Adegan pertempuran dengan kekerasan yang eksesif yang mungkin bekerja sebagai "katarsis" bagi jiwa-jiwa yang mesti stress karena serangan Covid-19 yang mengintai dimana saja.Â
Dengan kata lain, Extraction bisa sukses karena mewakili medium bagi pelampiasan atas ketakberdayaan manusia. Kamu boleh bilang, opsi film perang dengan visual yang intens memiliki momentum laku keras.
Ini dugaan saja. Jangan terus dikaitkan dengan pertunjukan kekerasan di antara negara dan demonstran karena Omnibus Law. Huwohuwo. Â Â
***Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H