Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Film "Extraction", Ketika Kamu Ingin Tembak-tembakan Saja

14 Oktober 2020   09:28 Diperbarui: 14 Oktober 2020   17:14 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film Extraction (2020)/ Jasin Boland/Netflix via Variety

Yep. I told you, mate, I'm not brave. I'm just the opposite - Tyler Rake

Ini adalah film yang diklaim telah ditonton oleh 90 juta rumah tangga ketika pemutaran perdana (mulai 24 April 2020) di bulan pertamanya oleh Netflix. Sebuah rekor sejarah pemutaran perdana di masa pagebluk.

Chris Hemsworth yang memerankan jagoan utama di film bergenre action-thriller ini sampai bilang begini di akun instagramnya, "Hey what's up guys? Hope you're doing well. I just want to say a massive thank you to everyone that checked out Extraction. You've made it the #1 film on the planet right now."

Extraction. Film nomor 1 di planet, bro!

Kamu mungkin sudah menjadi bagian dari 90 juta penonton streaming yang membuat film ini mengukir rekor sejarah. Mungkin juga menetapkannya sebagai salah satu film berkisah pembebasan sandera terkeren di era ketika pergi ke bioskop adalah kegiatan terlarang. Tapi, kamu mungkin tetap perlu melihat lagi apa yang terekam di sini. Yuuuk, kita mulai.

Film ini, juga sudah disampaikan dalam kritik terhadapnya, memiliki alur yang terlalu cepat kalau bukan terlalu standar. 

Ceritanya seorang anak dari bos gangster India diculik rivalnya di Bangladesh. Si bos marah dong, pasti. Sebuah operasi pembebasan disiapkan. Sebuah unit bayaran disiapkan, unit yang diorganisir seorang perempuan cantik. 

Di tempat yang menjadi subyek pertempuran: Dhaka, sang rival juga bukan golongan medioker. Dia mengendalikan aparat keamanan lokal. Kuasanya lebih ngeri dari presiden yang masih butuh pemilu. Mengetahui barikade sanderanya jebol, ia memerintahkan pengepungan total terhadap kota. Semua rute keluar dan masuk dikunci, pasukan dimobilisasi besar-besaran. Siaga satu. 

Pertempuran pun pecah-ya iyalah. Kota Dhaka yang sesak, gerah dan sibuk itu berubah menjadi "killing field" dari perseteruan dua gangster. Pemenangnya sudah langsung tertebak, hanya membutuhkan sedikit pasang surut untuk merawat ketegangan belaka. 

Tidak ada yang baru dari cerita yang seperti ini, bukan?

Kedua, kalau kita bicara dari sudut pandang sang jagoan Tyler Rake (Chris Hemsworth), rasanya juga sama saja. Udah sering terjadi. 

Sang jagoan bukan saja jebolan satuan elite (Special Air Service Regimen/SARS) yang punya riwayat terlibat perang di luar negaranya, Australia. Ia juga adalah ayah yang hidup dengan rasa bersalah. Kehebatannya sebagai elite satuan tempur tidak banyak guna ketika anaknya wafat. Ia mengutuk dirinya.

Kesan "White Washing" dalam film berdurasi 117 menit yang masih saja awet. Dimana seorang kulit putih datang ke Asia dan mati-matian membebaskan seorang anak. Ia mempertaruhkan hidup matinya, menjadi pahlawan yang dikenang. Atau, dalam statusnya sebagai tentara bayaran, sang jagon kita ini justru mengalami "pembaharuan diri". Ia tidak lagi memiliki motif mencari uang, ia ingin menyelamatkan jiwa manusia. 

Sekali berarti, sesudah itu mati. Drama! Jadi, apa yang baru dari relasi dominasi yang seperti itu dalam film bermazhab Hollywood?


Kritik ketiga. Pasukan pemerintah yang terjepit dalam perseteruan gangster ini pun masih juga kehadiran yang sama. Bertarung di kotanya sendiri, mereka tetap saja bulan-bulanan. Layaknya semangka ranum bertemu pisau Ka-Bar, pisau legendaris yang digunakan oleh pasukan Marinir Amerika dan sudah digunakan oleh personel Marinir sejak Perang Dunia ke-2. Tersayat-sayat tanpa daya.

Dalam pertempuran jarak dekat di rumah susun misalnya, mereka terlalu mudah tumbang. Satu-satunya sniper yang merupakan komandan dari satuan elite milik pemerintah pun terlalu lekas dibantai oleh si cantik Nik Khan yang diperankan aktris Iran, Golshifteh Farahani. Aparatur yang diberikan legetimasi menggunakan alat-alat represif ini tampak cuma bisa melakukan sweeping. Terbaca khas negeri ber-flower?

Selanjutnya, film yang berangkat dari novel "Ciudad" ini seperti juga tidak mengambil pusing pada aspek-aspek batiniah dari mereka yang terlibat dalam ketegangan. Ovi Mahajan, anak yang disandera itu sempat dikisahkan hidup dalam kemewahan (ala gangster) yang tertib namun mengasingkan. Ia dilukiskan memiliki sedikit hura-hura remaja, ingin jatuh cinta pada sebaya namun kisahnya hanya selingan.

Ada juga dunia si Saju Rav, orang kepercayaan ayahnya Ovi. Saju adalah mantan satuan elite tempur Para, milik India. Dia memiliki istri yang  cantik khas Bollywood dan seorang bocah lelaki. Saju tidak punya pilihan lain. Memulangkan Ovi atau merelakan keluarganya dimusnahkan si bos. Saju akhirnya mati dan istirinya dikasih wasiat untuk bersembunyi dengan duit pembayaran. 

Saju adalah pelengkap penderita dari kegemilangan Tyler Rake. Padahal, drama dan heroisme yang dibutuhkan film yang memamerkan kekerasan dengan eksesif ini lebih tepat diwakili Saju. Selain seorang ayah yang melindungi keluarganya dari "pertikaian para gajah", dia adalah seorang lokal.

Lalu, bagian dimana yang bikin film ini ditonton jutaan mata itu?

Saya kira, pada bagian tembak-tembakan yang ditampilkan dengan begitu dramatik, intens serta penuh brutalitas. 

Dari aksi pembebasan di dalam rumah susun yang padat dan gerah hingga di antara barikade di jembatan, pertempuran dengan tangan kosong, pisau hingga senjata berlangsung dengan ketegangan, intensitas dan pertunjukan kekerasan yang menyerap keheningan. 

Kamera yang bergerak dalam jarak dekat membuat pertempuran ini serasa ada di sekitar penonton. Begitu hidup dan memaksa perhatian tidak pergi kemana-mana sejak Tyler memutuskan untuk berangkat ke Dhaka. Desing peluru, daging yang sobek, kebasan pisau hingga teriakan terakhir sebelum tumbang terdengar begitu dramatik. Efek ketegangan sungguh bekerja dengan maksimal.

Kita terus bisa bersaksi jika Chris Hemsworth memang terlihat total di film yang juga ikut diproduserinya ini. Sam Hargrave, sang sutradara debutan rasanya cukup sukses dengan kerja perdana memakan biaya 65 juta dolar AS. Dan yang tak kalah penting adalah, tentu saja kontribusi Joe Russo yang ikut menulis cerita dan mengerjakan adegan layar (Screenplay). 

Mungkin karena fokus pada ekplorasi ketegangan dalam adegan tempur, Extraction memang mengabaikan drama anak manusia di balik film aksi pembebasan. Adegan pertempuran dengan kekerasan yang eksesif yang mungkin bekerja sebagai "katarsis" bagi jiwa-jiwa yang mesti stress karena serangan Covid-19 yang mengintai dimana saja. 

Dengan kata lain, Extraction bisa sukses karena mewakili medium bagi pelampiasan atas ketakberdayaan manusia. Kamu boleh bilang, opsi film perang dengan visual yang intens memiliki momentum laku keras.

Ini dugaan saja. Jangan terus dikaitkan dengan pertunjukan kekerasan di antara negara dan demonstran karena Omnibus Law. Huwohuwo.   

*** 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun