Ia kini menunjukan usaha mengadaptasikan diri dengan aturan main pagebluk. Bertahan tidak menjadi kenang-kenangan.Â
Tapi bukan ini saja yang bikin saya merasa sebagai jenis yang seolah-seolah: seolah-olah sedang tinggal di kaki Klabat (1.995 m).
Dari hidup di kaki gunung Klabat yang puncaknya sesekali berkabut dan misterius itu, deglobalisasi memang tidak bekerja secara luas dan mendasar-rasanya juga di banyak lokasi budaya.Â
Deglobalisasi via pandemi Covid-19 baru sebatas kejutan, semacam "meta-iklan" yang menelanjangi kebohongan-kebohongan iklan. Kita jadi tahu selama ini telah salah memercayai tapi itu tidak lantas memaksa berhenti melihat iklan.
Kita tahu, membeli sepeda mahal hanya demi bisa berfoto manis sembari bergerombol di Bundaran HI pada Car Free Day era pandemi adalah wujud cacat produk gaya hidup tapi apalah daya, konten sosial media adalah sabda!Â
Kita tidak lagi cukup mengurangi gawai dari jadwal tayang. Sudah sewajarnya menjadikan sesama dan alam sekitar sebagai kawan berdialog. Hal mana boleh dimulai dengan perintah bicaralah dengan dirimu sendiri, siapa tahu boleh mengenali sebab-sebab kejatuhan manusia. #Ashiiaap
Oleh karena itu, dalam kerangka yang lebih besar, meletakkan gaya hidup perkotaan sebagai medan geliat dimana proyek menyingkirkan kuasa "Monocultures of Mind" (istilah ini saya pinjam dari Vandhana Shiva) disemarakkan dan membuat masyarakat global menghentikan dikte korporasi-oligarki atas nasib bumi dan segala isinya yang mengeropos ini, masihlah jalan yang terjal.
Celakanya lagi, tak jarang di ruang perkotaan, batas antara ironi dan kegilaan sedemikian bercampur kawin tak karuan. Maka kenang-kenanglah manusia megapolitan yang berkumpul di depan Mcdonald Sarinah kala menutup dirinya.Â
Dalam keseriusan serupa ini, apalah juga saya. Sejenis nomad digital yang dipaksa menjadi penganggur musiman khas produk sekolahan yang tabah dan mati gaya berkali-kali. Ketika deglobalisasi harus terjadi, penglihatan kedalam diri mungkin salah satu yang membuat kita (kita? elu saja kali!) tak buruk-buruk amat jadi manusia. Â
Cieeh.Â
(Ditulis di desa Telaga, DAS Katingan, Kalteng. Pada saat banjir mulai surut)