Saya sebatas melakukan hal-hal sederhana. Saya berusaha "mendengarkan mereka" dengan berkeliling setiap pagi bersama Mahardika. Sisanya, saya lakukan sambil berlari pagi. Mereka adalah apa/siapa saja yang eksis di luar kesadaran.
Sebagai misal, bermotor, saya dan Mahardika menelusuri jalan lingkar luar yang bersambungan dengan jalan tol Manado-Airmadidi yang kemarin baru diresmikan Presiden. Infrastruktur baru ini mengubah bentang alam yang mengikat kampung-kampung di sepanjang jalurnya, tentu saja. Dan kampung-kampung itu masih saja mewakili atmosfer pedesaan yang tenang dan hangat, entah untuk berapa lama.
Ada perkebunan di sana. Ada kehidupan petani kecil yang bolak-balik mengolah tanah. Berusaha mempertahankan dirinya sebagai "kulturalis". Bukan perkebunan dalam skala besar, memang. Mungkin juga sekelas jejaring subsistensi yang tetap ulet di zaman serba marketplace.
Sementara di dunia yang berhimpitan, rombongan pekerja dengan mobil atau motor bergerak bolak-balik untuk kerja berupah yang terdisiplinkan. Mobilitas dan waktu yang dikompres merupakan inti yang menggerakkan mereka.
Atau, manakala saya berlari dari kenyataan melewati Bukit Kaki Dian yang merupakan salah satu ikon wisata Kabupaten Minahasa Utara. Dari elevasi 300-an mdpl, saya mengenangkan teluk Manado yang biru dan Manado Tua yang gagah.
Dari Kaki Dian, teluk itu tampak serupa gerbang zaman yang kini sepi. Barangkali di zaman perebutan rempah-rempah, teluk itu jauh lebih ramai dengan kapal-kapal kumpeni yang sibuk.Â
Sesekali, ditingkahi dengan sirene meraung-raung yang memberi peringatan adanya gangguan bajak laut. Jejak lampau globalisasi merkantilisme terpampang di sana.
Di antara gerak tumbuh yang cepat dari pembangunan jalan, pertumbuhan Indo/Alfamart juga gerai fast-food, kafe-kafe dan warung kaki lima hingga perumahan, masih tersisa para pekebun kecil yang mengusahakan pisang, singkong, jagung serta buah-buah musiman. Ekonomi bergeliat di antara mereka yang bertahan dan ekspan. Di antara yang lokal dan yang global. Â Â
Dunia selalu tersusun dalam multirealitas, multikehendak, dan multikontestasi. Jalani saja tanpa bermimpi menjadi nabi-nabi baru. Uwuwuw.
Di Airmadidi, kecamatan dimana saya tinggal hampir 10 tahun terakhir, Â dunia manusia saya tidak cukup diajak bicara oleh normalitas pra-pagebluk. Saya abai melihat kontetasi yang tak riuh itu menandakan geliat bertahan.Â