Dalam kata-kata filsuf nyentrik, Slavoj Zizek, pandemi ini adalah pembalasan terhadap keangkuhan subyektifisme manusia. Kejam tapi impas. Saat bersamaan, seolah saja, nubuat-nubuat Horkheimer perihal "dilema usaha manusia rasional" sedang dibaca dengan aksentuasi yang lebih gigih.
Kutukan Nomad Digital
Mari kita bergeser sejenak dari percakapan di atas dan menyelami situasi ini dalam pengalaman yang-semoga saja-lebih subtil. Yakni, pada keberadaan saya yang mengalami deglobalisasi sebagai bentuk lain dari ketidakinginan menanggung kutukan nomad digital.
Kutukan nomad digital, sebut saja begitu, adalah lingkaran setan dimana manusia (dipaksa) berlimpah informasi, beradu clickbait  setiap hari, merayakan yang trending dan viral, padahal sedang menambang obesitas informasi dan polusi kesadaran. Menderita overthinking berlapis-lapis, memeluk kecemasan berkawan-kawin.
Deglobalisasi membuka kedok yang selama ini tidak tersentuh kegelisahan karena saya yang sering bepergian. Bepergian mencari makan, kawan. Bukan bagian golongan yang bersenang-senang.
Tentulah, kehendak mengurangi kutukan nomad digital bukanlah sesuatu yang mewah. Bukan juga sesuatu yang baru dalam artian tersadari ketika dunia yang berlarian (Runaway World, Anthony Giddens) harus dikunci karena virus yang menyerang imunitas ini berlipat kali lebih kencang larinya.
Ternyata, ada banyak hal yang tidak saya pahami di dunia sekitar. Banyak hal yang serasa ingin berbicara, mengenalkan dirinya. Selama ini mereka terlihat jauh di luar apa saja yang saya mengerti dalam susunan pengetahuan praktis sehari-hari.
Dalam kaitan itu (antara saya dan dunia sekitar yang menyelubungi dirinya), mungkin bisa dikatakan bahwa aturan main baru ala pagebluk Covid-19 ini bukan saja menjadikan protokol kesehatan sebagai nilai sentral dalam pengetahuan praktis manusia abad digital.Â
Aturan main pagebluk ini juga telah menyediakan jembatan yang menghubungkan kesadaran dengan interaksi yang lebih hangat pada skala mikro.Â
Jenis interaksi sungguh-sungguh yang mungkin lama tergerus oleh perayaan akan kecepatan, kedangkalan dan narsisme produk digitalisme.
Dalam pengalaman saya mengalami deglobalisasi via pandemi, yang dilakoni bukanlah menarik jarak dan permenungan radikal terhadap situasi. Saya tidak memiliki kemewahan untuk laku seperti itu. Saya tidak tinggal bersama ibu yang dengan penuh kasih sayang menyediakan makan malam, seperti ibunya Adam Smith.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!