Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Telepon dari Masa Lalu

16 Februari 2020   12:11 Diperbarui: 16 Februari 2020   19:28 731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: deviantart.com/xhawk3yex

...Summer has come and passed. The innocent can never last. Wake me up when September ends.

Lirik pembuka dari tembang Green Day itu mengumandang. Sebaris angka tertera di sana, panggilan masuk. Tak ada di kontak. Siapa?

"Haloo?"

"Hei, gimana kabar?"

"Halo, gimana kabar...?"

"Ya, saya sedang di sini. Apa kabar? Masih di sini kan?"

"Bentar. Ini siapa?" Tiba-tiba akrab. Orang dari mana, batinnya. "Sudah gak kenal? Atau hanya ingat pas ada kepentingan saja, hehehe?" Sambung suara di seberang.

"Maaf, nomor ini gak ke-simpan. Siapa ya?" Ada rasa malu yang tiba-tiba. Benar juga. Seberapa berguna sebuah nomor di daftar kontak jika dihubungi hanya ketika ada urusan saja? 

"Coba diingat-ingat. Siapa saya?" Lalu suara ini tertawa. Antara menguji dan meledek. Sialan. 

"Hmm. Coba bapak bicara dulu, barangkali."

"Hahaha. Coba diingat, siapa saya. Saya sedang ada urusan di sini."

Hening beberapa detik.

"Fre?"

"Yaaa. Hahaha."

"Ini Fre?"

"Iya, saya sedang ada di sini. Ada urusan keluarga. Sudah tiga hari, sih." Terang suara yang memberinya teka-teki. 

"Di mananya?"

"Dekat rumah sakit. Ada urusan keluarga sedikit. Eh, bentar ya. Saya ada tamu. Nanti saya telpon lagi."

"Wah. Siip, bro. Sori, sudah lama gak ada kabarnya. Maaf, saya agak lupa."

"Hahaha. Gak apa-apa, aman. Nanti saya telpon lagi ya."

***

Fre. Seragam abu-abu. Bangku paling belakang. Pernah dipanggil ke ruang kepala sekolah karena bengal. Pernah ditangkap Polantas di sebuah malam yang basah, dibawa ke pos jaga dan ditempeleng. Anak SMA bergaya penguasa jalanan. Tanpa helm dan alas kaki, keliling kota yang mulai sepi sesudah hujan. 

"Saya mau jadi polisi. Saya akan cari orang yang menempeleng kita itu."

"Ah, yang betul saja."

"Kau tunggu saja!"

Sesudah lulus, Fre memang tak menunda lama mendaftar SECABA. Dia tak sendiri. Ada Ran juga, seorang sahabat. Bertiga, mereka memang sering bersama sejak masih sekolah. Sering berbagi petualangan, kenakalan, dan cerita-cerita tentang siapa saja yang membuat mereka seharusnya jatuh cinta atau patah hati. 

Tembang Green Day bersenandung lagi. Wake me up when September ends.

***

"Pak, bisa tolong isikan pulsakah? Lima puluh ribu saja, di nomor saya."

"Oh, siaap. Lima puluh ya?"

"Iyaa, maaf tadi ada tamu." 

"Oke. Tapi tunggu sebentar, saya harus ke ATM. Mungkin lima menit lagi."

"Baik, Pak."

Tak menunggu lama, mesin ATM langsung membeli pulsa lima puluh ribu. Green Day bersenandung lagi.

"Sudah masuk. Bisa diisikan dua nomor lagi, punya kawan saya? Nanti saya kirimkan nomornya."

"Haa?" Waduh, batinnya tertahan, "Bentar dulu. Saya harus cek saldo lagi." Mulai cemas. Ada yang janggal. Teman lama ini masih kehabisan pulsa saja. Sudah berdinas, padahal. Ran? Ya, Ran!

Sebuah nomor tersambung. "Bro, Apa kabar? Terakhir berkomunikasi dengan Fre kapan?" Selidiknya. Bergegas. Serasa seribu setan sedang menuju ke tempatnya. 

"Fre? Serius? Orang itu sudah lama gak ada berita. Kenapa Bro? Tunggu sebentar, saya cari tahu dulu." 

Habis aku. Selesai! 

"Hahaaha." Dia tertawa untuk dirinya sendiri. "Harusnya curiga. Untung saja tidak sampai dua kali mengisikan." Dia bicara kepada persetujuannya yang tiba-tiba. Sumpah, sahabat adalah sahabat, seringkali lebih dari kerabat.

Bip. Bip. Bip. Lampu indikator berwarna hijau menyala. Ada pesan WA baru diterima. Sebuah video.

"Haaaaaaah."

Wajah itu penuh berlumur darah, mengucur dari kepala. Merintih. Lirih dan mengenaskan. Ia masih mengenalinya. Itu wajah pernah dipanggil bersama ke ruang kepala sekolah. 

"Masih belum mengisi pulsa." Sebuah peringatan!

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun